Tak ada yang pasti pada sebuah dugaan. Itulah refleksi saya terhadap kejadian pada pagi menjelang siang (Kamis, 19 Januari). Bersama seorang teman, saya naik sepeda motor dari rumahnya mau ke pondok. Ada satu keperluan yang harus kami selesaikan hari itu.
Ketika akan berangkat, awan tampak menghitam di langit selatan. Namun di selatannya lagi cerah, bahkan, di sekitar tempat tujuan, sinar matahari begitu jelas terlihat. Karena merasa hujan tak akan turun, teman yang menyetir melajukan sepedanya dengan kecepatan sedang. Jalan berbatu, meski beraspal, memaksa sepeda yang kami tumpangi melambat.
Kira-kira satu kilometer kami tempuh perjalanan, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Terpaksa kami berteduh di bawah pohon bambu. Pada awalnya, gerimbunan pohon itu cukup memberi perlindungan kepada kami. Namun, sekian menit, cucuran air dari daun-daunya jatuh membuat kami kebasahan. Cepat-cepat kami beranjak dari sana. Seorang lelaki tua yang datang dari belakang menyuruh kami berteduh di sebuah rumah tak jauh dari situ. Ia berlari dengan rumput di kepalanya. Rupanya ia baru mengambil pakan ternak. Kami mengikutinya.
Di teras rumah itu, kami mengobrol. Guntur sesekali menggelegar. Sambil duduk di lincak, obrolan mengarah ke banyak hal, mulai hujan yang jarang turun sampai tanaman jagung yang hampir panen. Namun, kalimat yang masih terus menghuni kepala saya adalah ketika kakek itu mengatakan, “Pemerintah biasanya hanya memberi bantuan kepada mereka yang kaya. Orang miskin sulit sekali mendapatkannya.” Kalimat ini meluncur dalam bahasa Madura saat ia membicarakan tentang air yang mengucur dari genting rumah itu sehingga membuat lantai terendam. Katanya, mestinya bantuan diberikan kepada pemilik rumah ini, bukan rumah di sebelah selatannya yang dia anggap lebih mampu. Dia menunjuk sebuah rumah yang baru selesai direhabilitasi.
Memang, bagi saya, rumah itu sungguh mengenaskan. Modelnya khas rumah adat Madura tempo dulu. Atapnya bocor sana-sini. Saya yang berteduh malah seperti tak berteduh. Air tetap membasahi baju dan sarung saya. Tapi, dalam keadaan hujan lebat, tak ada pilihan lagi selain bertahan di sini.
Awalnya saya mengira si kakek adalah pemilik rumah ini. Tapi ternyata bukan. Dia hanya tetangga yang rumahnya tak jauh dari tempat itu. Dia mengatakan kalau pemilik rumah ini bekerja di Arab Saudi. Saya tak panjang membicarakan hal ini. Saya hanya memandang sebuah poster bertulis “Western Union, melayani pengiriman dan penerimaan uang”. Poster itu ditempelkan di atas pintu. Saya menebak-nebak, mungkin poster tersebut diberi oleh petugas ketika menerima kiriman uang dari luar negeri.
Yang membuat saya bertanya-tanya, seorang anak berumur belasan tahun dari tadi hanya memandang kami dari pintu. Semenjak kami berada di sana, dia hanya di situ saja sampai kami pulang. Kadang masuk ke dalam kamar, entah apa yang dilakukannya. Ketika sudah pulang dari sana, teman saya bilang, “Sepertinya anak tadi mengidap gangguan jiwa.” Ternyata perkataan teman saya ini persis sama dengan apa yang ada dalam pikiran saya.
Ketika akan berangkat, awan tampak menghitam di langit selatan. Namun di selatannya lagi cerah, bahkan, di sekitar tempat tujuan, sinar matahari begitu jelas terlihat. Karena merasa hujan tak akan turun, teman yang menyetir melajukan sepedanya dengan kecepatan sedang. Jalan berbatu, meski beraspal, memaksa sepeda yang kami tumpangi melambat.
Kira-kira satu kilometer kami tempuh perjalanan, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Terpaksa kami berteduh di bawah pohon bambu. Pada awalnya, gerimbunan pohon itu cukup memberi perlindungan kepada kami. Namun, sekian menit, cucuran air dari daun-daunya jatuh membuat kami kebasahan. Cepat-cepat kami beranjak dari sana. Seorang lelaki tua yang datang dari belakang menyuruh kami berteduh di sebuah rumah tak jauh dari situ. Ia berlari dengan rumput di kepalanya. Rupanya ia baru mengambil pakan ternak. Kami mengikutinya.
Di teras rumah itu, kami mengobrol. Guntur sesekali menggelegar. Sambil duduk di lincak, obrolan mengarah ke banyak hal, mulai hujan yang jarang turun sampai tanaman jagung yang hampir panen. Namun, kalimat yang masih terus menghuni kepala saya adalah ketika kakek itu mengatakan, “Pemerintah biasanya hanya memberi bantuan kepada mereka yang kaya. Orang miskin sulit sekali mendapatkannya.” Kalimat ini meluncur dalam bahasa Madura saat ia membicarakan tentang air yang mengucur dari genting rumah itu sehingga membuat lantai terendam. Katanya, mestinya bantuan diberikan kepada pemilik rumah ini, bukan rumah di sebelah selatannya yang dia anggap lebih mampu. Dia menunjuk sebuah rumah yang baru selesai direhabilitasi.
Memang, bagi saya, rumah itu sungguh mengenaskan. Modelnya khas rumah adat Madura tempo dulu. Atapnya bocor sana-sini. Saya yang berteduh malah seperti tak berteduh. Air tetap membasahi baju dan sarung saya. Tapi, dalam keadaan hujan lebat, tak ada pilihan lagi selain bertahan di sini.
Awalnya saya mengira si kakek adalah pemilik rumah ini. Tapi ternyata bukan. Dia hanya tetangga yang rumahnya tak jauh dari tempat itu. Dia mengatakan kalau pemilik rumah ini bekerja di Arab Saudi. Saya tak panjang membicarakan hal ini. Saya hanya memandang sebuah poster bertulis “Western Union, melayani pengiriman dan penerimaan uang”. Poster itu ditempelkan di atas pintu. Saya menebak-nebak, mungkin poster tersebut diberi oleh petugas ketika menerima kiriman uang dari luar negeri.
Yang membuat saya bertanya-tanya, seorang anak berumur belasan tahun dari tadi hanya memandang kami dari pintu. Semenjak kami berada di sana, dia hanya di situ saja sampai kami pulang. Kadang masuk ke dalam kamar, entah apa yang dilakukannya. Ketika sudah pulang dari sana, teman saya bilang, “Sepertinya anak tadi mengidap gangguan jiwa.” Ternyata perkataan teman saya ini persis sama dengan apa yang ada dalam pikiran saya.
Tentang hal ini, saya pun tak bertanya kepada kakek itu. Saya hanya menebak-nebak, mungkin dia adalah anak pemilik rumah ini.
Seperti apa yang saya katakan di awal tulisan ini. Menebak-nebak adalah hal yang tak pasti. Kami mengira tak akan hujan, tapi ternyata hujan turun cukup deras. Mengira anak ini menderita, baik karena kejiawaannya maupun kemiskinannya, bisa saja sebaliknya: Ia bahagia dan menikmati keadaan seperti itu.
lihat fotonya
Madura, 19 Januari 2012
Seperti apa yang saya katakan di awal tulisan ini. Menebak-nebak adalah hal yang tak pasti. Kami mengira tak akan hujan, tapi ternyata hujan turun cukup deras. Mengira anak ini menderita, baik karena kejiawaannya maupun kemiskinannya, bisa saja sebaliknya: Ia bahagia dan menikmati keadaan seperti itu.
lihat fotonya
Madura, 19 Januari 2012