Breaking

Friday, January 6, 2012

Tutus

Dulu, ketika saya masih kecil, Ibu sering bilang, “Usa tutus be’na, Cong, ma’le ta’ cengkal” (Kamu harus di-tutus, Nak, biar tidak nakal). Ucapan itu lahir dari kebiasaan saya yang begitu mudah memecahkan kaca lemari maupun daun pintu ketika sebuah keinginan tidak bisa dipenuhi oleh kedua orang tua saya.

Telah banyak korban berjatuhan. Dinding salah satu lemari yang sobek masih bisa saya saksikan sampai sekarang. Lemari kayu itu dulunya tempat menyimpan pakaian dan perabotan rumah tangga. Namun, sekarang ia sudah turun tahta menjadi tempat persembunyian benda-benda purbakala semacam kaos seragam TK saya yang norak, tas gendong bergambar robot terbang, dan peralatan elektronik peninggalan saya waktu masih suka mempreteli radio National AM/SW milik bapak.

Kebiasaan memecah-belah bangsa, eh, memecah kaca lemari dan daun pintu ini lahir dari kekesalan demi kekesalan. Salah satunya adalah ketika saya tidak dibelikan Game Watch oleh orang tua. Benda sialan ini memang booming waktu itu. Sepupu saya yang lebih sialan dari benda tersebut makin memanas-manasi dengan cara meminjamkannya sebentar kepada saya. Saat sedang asyik-asyiknya main, benda tersebut dia minta. Saya tahu itu adalah cara terburuk menjadi iklan gratis dari produk luar negeri tersebut.

Melihat sejumlah perkara kriminal yang saya lakukan, sering kali Ibu berkata bahwa saya harus menjalani ritual tutus. Dalam tradisi Madura, ritual ini diyakini dapat menekan angka kriminal seseorang.
Tutus dipraktekkan kepada seorang anak lelaki yang sendirian. Maksud saya, ia tak punya saudara lelaki lagi. Kebetulan, saudara-saudara saya yang berjumlah lima orang semuanya adalah perempuan. Karena saya hanya lelaki satu-satunya, maka saya disebut pandhaba. Nah, pandhaba inilah yang harus di-tutus agar tidak nakal.

Sebenarnya, ritual tutus bukan hanya untuk mencegah orang dari sifat nakal. Namun, ada makna lebih universal dari semua itu. Orang-orang Madura di desa saya meyakini bahwa ritual tersebut bisa membuat seseorang lebih mandiri. Mereka tidak lagi bergantung kepada saudari-saudarinya.

Saya belum pernah menyaksikan ritual ini secara langsung karena di desa saya sudah agak jarang dilakukan. Menurut cerita orang tua saya, mereka yang melakukan ritual ini harus memakai kain kafan, bertongkat tusukan serabi, dan menyunggi penai. Penai tersebut berisi air dan uang. Mereka berjalan dari rumahnya ke tapa dangdang atau pertigaan jalan. Sesampai di sana, penai tersebut dipukul di atas kepalanya. Dan tumpahlah air titu ke tubuh orang tersebut.

Saya sangat takut mendengar kata kafan waktu itu. Maka, ketika ibu bilang saya harus di-tutus, saya gemetaran mendengarnya. Dan obat itulah yang menghentikan kriminal-kriminal yang saya lakukan. Tapi hanya sesaat. Esoknya beraksi lagi. :-)

Madura, 6 Januari 2012