Breaking

Friday, June 15, 2012

Terbebas dari Perasaan Mencintai


sumber foto di sini

Terbebas dari perasaan mencintai barangkali bukanlah hal yang mudah. Setidaknya, sampai sekarang orang masih sulit mencari penawarnya. Mungkin memang tidak ada penawarnya, selain hanya waktu yang akan menentukan kelak. Yah, waktu.

Saya pernah iseng-iseng mengirim pesan kepada teman-teman. Bunyinya begini: Dicari! Terapis anti-cinta. Dibutuhkan segera! Dari sekian yang menanggapi, saya tidak menjumpai adanya jawaban yang memuaskan. Semua menanggapi dengan nada guyon. Mungkin ini efek negatif dari kebiasaan mengguyon yang sering saya lakukan kepada mereka.

Namun, saya mengakui bahwa itu bukanlah perkara mudah. Jawaban teman-teman saya kira bukan murni karena ingin mengguyon, tetapi lebih karena memang tidak punya jawaban jitu, tepat sasaran, dan bisa dipakain oleh banyak orang.

Telah banyak hal dilakukan orang untuk mengubur rasa cintanya. Berbagai macam alasan dikemukakan. Ada yang merasa orang yang dicintainyanya tak pernah punya perasaan spesial buat dirinya, ada yang karena minder, ada pula karena trauma, ada yang karena dibayang-bayangi oleh suatu hal yang sulit di masa depan, dst. Semua itu dihadirkan sebagai sebuah penyakit yang perlu disembuhkan. Tapi, nyatanya tak ada yang benar-benar bisa mengobatinya.

Jalan yang sering ditempuh orang adalah dengan menjaga jarak dari orang yang dicintai. Ini mungkin bukan perkara mudah, mengingat ia harus berperang dengan rasa rindu yang mencekik perasaan. Namun, selama ini trik tersebut masih dianggap sebagai cara yang ampuh. Tentu saja kegagalan dan keberhasilan tipis sekali batasnya. Ada yang berhasil dengan cara itu dan tidak sedikit yang gagal.

Mengasingkan diri dari hadapan orang yang dicintai membutuhkan keberanian berlebih. Setidaknya, mereka harus berani sabar dalam kesepian yang panjang. Itu bukanlah hal gampang, apalagi jika orang yang dicintai memiliki teman-teman yang juga mengenal kita. Memutus secara total komunikasi saya kira bukanlah hal yang baik. Itu akan terasa ganjil di mata teman-teman yang lain, lebih-lebih dia yang dicintai itu. Intensitasnyalah yang perlu diturunkan semaksimal mungkin. Namun, apakah itu bisa?

Jawaban dari pertanyaan itu ada pada gerak langkah yang kita lakukan. Bila kita tak benar-benar berjuang keras untuk mewujudkannya, tentu saja kegagalanlah yang akan didapat. Kita mungkin akan terus larut dalam kubangan ketidakpastian. Itu adalah kiamat kecil yang tidak boleh terus dipelihara. Akan ada banyak waktu terbuang hanya untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting itu. Persiapan ke masa depan akan sulit untuk dicapai.

Sebenarnya ada cara yang ampuh selain cara di atas, yaitu tetap berkomunikasi tapi bukan dalam kerangka asmara. Dalam hal ini kita harus benar-benar bisa berakting tidak terjadi apa-apa dalam kehidupan kita, meski gemuruh menderu-deru dalam dada. Itu adalah perjuangan yang lebih sulit lagi. Dan saya yakin tidak akan banyak orang yang bisa melakukannya. Bagaimanapun, logika sering babak belur saat asmara mendominasi.

Apa yang saya ungkapkan di atas tentu saja subjektif sifatnya. Dari sekian orang pasti ada satu-dua yang punya cara baru yang lebih efektif untuk menghadapi masalah ini. Artinya, masing-masing orang memiliki obat berbeda-beda untuk menyembuhkan penyakit yang sama. Dan sampai saat ini saya belum menemukan yang manjur.

Madura, 16 Juni 2012