Kali ini, biarkan aku bicara langsung pada jiwamu: tanpa sekat, tanpa tedeng, tanpa border. Untuk menanyakan apa-apa yang khawatir telah kusalahartikan. Tentang siapa merindukan siapa. Tentang siapa mengharapkan apa. Adakah kata ‘saling’ terkandung? Atau adakah hukum aksi-reaksi berlaku di sana?
Kau pernah mendengar cerita tentang orang-orang yang dibuali perasaannya sendiri? Ada buncahan suka di sana, yang nanti—secara teratur atau tiba-tiba—akan disadari, bahwa itu semua telah menenggelamkan jiwa mereka dalam kesemuan. Mengharapkan apa-apa yang sebenarnya tak pernah ada. Atau ada, tapi tak sebesar itu. Lalu, atas nama rasa malu pada dirinya sendiri, perasaan yang tidak pernah tahu apa-apa itu dibunuh. Mati lalu dikubur. Tapi tahukah kamu, bahkan semua reaksi sederhana itu tak semudah saat dituliskan?
Jadi biarkan aku bicara langsung pada jiwamu, tanpa kau halang-halangi dengan ekspresi kecil atau celetukan ringanmu. Meski harus kuakui aku menyukainya: kata-kata lugu yang kau rangkai tanpa pretensi, kau ucap seolah tanpa motif, tapi memikat.
Aku perlu tahu, tapi aku tak butuh mulutmu berkata-kata. Hanya ingin jiwamu yang bercerita.
Ya, aku perlu tahu.
Meski tak selamanya pengetahuan membuatku nyaman.
Aku hanya takut salah.
Apa kau juga ingin bicara pada jiwaku?
...
Ja(t)uh, 2013
oleh : Azhar nurul Ala