Breaking

Saturday, November 26, 2016

Belajar Menjadi Guru: Resensi Buku “Mendidik Pemenang Bukan Pecundang”


Dalam bab pembuka buku “Mendidik Pemenang Bukan Pecundang”, bu Dhitta Puti dan pak Sumardianta menggambarkan besarnya tantangan yang dihadapi pendidik zaman ini. Mengutip Rhenald Kasali, para penulis buku ini mengatakan bahwa zaman mutakhir ini memiliki empat ciri: vitality (penuh energy dan cepat berubah), uncertainty (penuh ketidakpastian), complexity (rumit, saling berkait kelindan) dan ambiguity(serba tak jelas). Bagaimanakah sekolah, dan kita sebagai masyarakat, bisa membantu generasi muda untuk hidup dan menjadi pemenang di zaman ini?

Penggambaran ini mengingatkan saya pada penelitian-penelitian Mark Cuban tentang reformasi pendidikan di Amerika. Kalau tak salah ingat, Cuban menggambarkan temuan penelitiannya melalui sebuah anekdotnya tentang orang abad 19 yang dihadirkan di zaman ini menggunakan mesin waktu. Orang itu terheran-heran melihat cara orang berbicara dan berpakaian, kendaraan yang ada di jalan, bentuk rumah tempat tinggal dan gedung-gedung kantor. Segalanya begitu berbeda dari 100 tahun silam. Namun ada satu tempat yang segera ia kenali: ruang kelas! Ruang dengan deretan bangku menghadap sebuah papan besar. Ya, dalam kurun waktu satu abad, segala sesuatu berubah begitu pesat, kecuali pendidikan formal. Bagaimana mungkin sebuah institusi yang demikian kolot bisa mendidik pemenang di zaman yang menuntut daya adaptasi, fleksibilitas, dan kemampuan untuk terus belajar?

Sumber: http://phdinhistory.blogspot.co.id/2011_06_01_archive.html
Buku “Mendidik Pemenang Bukan Pecundang” ini sarat dengan refleksi kritis para penulisnya sebagai guru, sebagai pendidik. Kritik mereka menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita ibarat sang kaisar pandir yang mengira dirinya mengenakan pakaian terbaik, padahal sebenarnya telanjang. Dalam sistem pendidikan kita, “pakaian” abal-abal tersebut hadir dalam bentuk nilai UN, persentase kelulusan, melek huruf universal, status akreditasi sekolah, sertifikat ISO, dan meja-meja display yang penuh piala. Hal-hal yang membuat kita percaya bahwa sekolah kita dalam keadaan baik-baik saja. Padahal, berapa banyak siswa yang mendapat nilai tinggi dalam UN secara jujur? Berapa orang melek huruf yang gemar membaca? Persoalan kaisar yang diarak telanjang ini bisa disebut sebagai gelaja formalisme: kecanduan formalitas, lupa akan substansi.

Kedua penulis buku ini sangat menyadari bahwa ada begitu banyak yang bisa dan layak digugat dari pendidikan kita. Namun yang saya suka adalah optimisme keduanya, optimisme yang menyeruak melalui kisah-kisah menggugah yang mereka selipkan dalam tiap bab buku ini. Sebagian kisah ini berasal dari praktik mereka sendiri sebagai guru. Sebagian lagi dari pengamatan langsung mereka, dari cerita orang lain dan buku-buku yang mereka baca. Keragaman kisah yang diceritakan kembali oleh bu Dhitta Puti dan pak Sumardianta mencerminkan keterbukaan hati dan pikiran. Kerendahan hati sekaligus kejelian untuk belajar dari siapa pun, kapan pun.

Maka di buku ini kita akan temukan kisah perempuan di sebuah restoran cepat saji di Jerman yang memanusiakan gelandangan yang dekil. Atau supir taksi di Amerika yang berhenti mengeluhkan nasib dan menjadi “elang” dengan memberi layanan premium pada setiap penumpangnya. Atau dosen fakultas pendidikan di Jakarta yang menuturkan bahwa “perpustakaan”, “laboratorium”, dan “relasi” sebagai jantung setiap sekolah. Atau gadis muda di Bandung yang membuktikan bahwa IQ rendah bukanlah hambatan untuk berhasil sebagai wirausahawan. Atau sensi dari Jepang yang mengajar bahasa Inggris dengan cara mengajak muridnya memasak. Juga sosok-sosok besar dalam sejarah dunia seperti Nelson Mandela, Gandi, Steve Jobs, Tan Malaka.

Salah satu kisah favorit saya di buku ini adalah cara pak Sumardianta mengajar tema patriotisme di pelajaran kewarganegaraan. Alih-alih sekedar menyampaikan materi yang ada di buku teks, ia terlebih dahulu menggali pendapat muridnya tentang pahlawan. Siapakah pahlawan dalam kehidupan mereka? Ternyata, sebagian besar merasa bahwa ayah dan ibu mereka adalah pahlawan. Pak Sumardianta memutuskan untuk menjadikan “orangtua” sebagai tema pemelajaran. Sebagai tugas, para murid diminta membuat video testimoni tentang heroisme orangtua mereka.

Kisah lain yang mengesankan bagi saya adalah bagaimana bu Dhitta Puti menggunakan sms untuk mengajar bahasa Inggris. Setiap beberapa hari, Bu Puti menuliskan sesuatu yang menarik dalam bahasa Inggris untuk dikirim ke murid-muridnya. Saya bayangkan sebagian muridnya adalah membalas sms tersebut dan berlatih berdialog dalam bahasa Inggris. Bila bingung hendak menulis apa, bu Dhitta Puti mencari inspirasi dari bacaan atau apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ketika Jakarta dilanda hujan badai, ia menelusuri internet untuk belajar tentang petir, kemudian merangkumkan hasil belajar tersebut dalam bentuk sms kepada murid-muridnya.

Dari kisah-kisah ini, saya menyimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal kunci dari proses menjadi guru yang hebat. Yang pertama adalah kemauan dan kemampuan untuk berkaca. Merefleksikan pengalaman, mengambil hikmah dari kegagalan maupun keberhasilan, baik yang dialami sendiri maupun orang lain. Yang kedua adalah ketulusan dalam berpihak pada murid. Ketulusan inilah yang menggerakkan seorang guru untuk mau mengambil risiko dengan tidak taklid buta pada kurikulum dan buku teks. Ketulusan inilah yang membuat seseorang mau meluangkan energy dan waktu untuk mengirim sms agar murid-muridnya bersemangat belajar.

Hal ketiga adalah kecintaan pada pengetahuan. Tema ini diangkat dalam bab-bab terakhir buku melalui label “kasmaran belajar”, sebuah istilah yang pertama saya kenal dari profesor matematika ITB pak Iwan Pranoto. Berkaca pada kisah dan refleksi-refleksi di buku ini, saya semakin yakin bahwa syarat utama dari keberhasilan guru menumbuhkan kasmaran belajar pada muridnya adalah dengan terlebih dahulu menjadi pecinta pengetahuan: menjadi orang-orang yang ingin menjadi lebih tahu tentang murid-muridnya, tentang cara mengajar yang lebih baik, dan tentu tentang ilmu yang diajarkan.

Sayang seribu sayang, guru-guru seperti pak Sumardianta dan bu Dhitta Puti adalah anomali. Mereka menjadi hebat bukan karena perencanaan, tapi karena kebetulan. Saya bukan hendak mengatakan bahwa tidak ada guru yang hebat di tempat lain. Saya yakin ada, dan mungkin ada di setiap sekolah. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara mereplikasi, melipatgandakan guru seperti kedua penulis ini, agar yang seperti mereka menjadi mayoritas, menjadi norma, bukan lagi anomali.