Breaking

Sunday, July 28, 2019

IMPOR REKTOR, JALAN PINTAS YANG SALAH ARAH

Oleh: Anindito Aditomo
 
Setelah wacana impor dosen, Menristekdikti juga berencana mengimpor rektor. Tampaknya strategi impor-imporan ini memang menjadi resep utama Kementerian untuk menempatkan universitas kita dalam papan atas ranking dunia. 
 
Seberapa efektifkah kira-kira strategi ini? Pak menteri menyebutkan kasus universitas-universitas di Singapura yang menerapkan strategi serupa sehingga berhasil menjadi yang terbaik di dunia. Dan betul, impor rektor dan dosen adalah bagian penting dari strategi Singapura dalam mereformasi universitasnya. 
 
Dalam beberapa tahun saja, NTU dan NUS sudah diperhitungkan sebagai universitas kelas dunia. Belakangan, Cina (dan mungkin Malaysia?) juga menerapkan hal serupa dan berhasil melejitkan beberapa universitasnya. Jadi, memang ada preseden bagi keberhasilan strategi dosen dan rektor ini. 
 
Pertanyaannya tentu adalah apakah strategi tersebut akan berhasil di Indonesia? Saya skeptis. Jika tidak menjadi bagian dari perombakan ekologi pendidikan tinggi secara mendasar, impor dosen dan rektor takkan banyak berdampak positif. 
 
Mari pelajari kasus Singapura secara sedikit lebih teliti. Pada 2006, Singapura merekrut Bertil Andersen sebagai penasehat pemerintah di bidang riset. Setahun kemudian, ia diminta memimpin transformasi NTU. Andersen adalah peneliti kawakan asal Swedia yang sebelumnya menjabat sebagai presiden European Science Foundation. 
 
Salah satu hal pertama yang dilakukan Andersen adalah mendatangkan profesor dan peneliti-peneliti muda berbakat dari berbagai universitas top dunia. Sepintas, yang dilakukan Andersen mirip dengan strategi yang hendak diterapkan Kemenristekdikti. Tapi simpulan ini terlalu simplistis. 
 
Pertama, untuk memberi tempat bagi para profesor dan peneliti asing itu, Andersen memecat banyak dosen lama. Ia tak mau repot berusaha mengubah orang-orang lama tersebut menjadi peneliti kelas dunia. Orang-orang dengan mindset lama adalah hambatan dalam proses menciptakan kultur riset dan sistem yang baru. Apakah rektor asing yang akan didapuk memimpin UI, UGM, atau ITB, misalnya saja, akan leluasa memecat para profesor dan dosen-dosen lama di sana? Coba saja kalau berani, dan lihat seberapa lama ia bisa bertahan 😁

Kedua, dan ini yang lebih penting, coba pikirkan mengapa para profesor dan peneliti dari institusi seperti MIT, Caltech, dan Imperial College mau pindah ke Singapura? Yang jelas, bukan karena mereka menikmati suhu dan kelembaban udara negeri tropis. Kebanyakan talenta akademik adalah orang-orang yang punya renjana kuat akan pengetahuan. Mereka ingin bisa meneliti, dan meneliti dengan sebaik-baiknya. 

Apakah orang-orang seperti itu akan mau datang ke Indonesia dan berjibaku dengan mekanisme pendanaan riset yang ajaib? Dengan kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban yang lebih mementingkan kelengkapan bon dan meterei daripada substansi ilmiah? Dengan minim dan sulitnya mengimpor alat dan material eksperimen? Dengan tuntutan patuh pada aturan seperti cap jempol sehari dua kali?

Jawabannya adalah, tentu tidak. Mana ada peneliti kelas dunia yang ingin bekerja di lingkungan yang mematikan kreativitas dan daya pikir? Pendek kata, ekosistem akademik pendidikan tinggi kita tidak ramah pada penelitian dan pengembangan ilmu. Jika dipaksakan, strategi impor-imporan dosen/rektor paling banter hanya akan membuahkan hasil seperti liga sepakbola kita.

Yang akan datang hanyalah para pemain dan manajer medioker yang karirnya sudah mentok di tempat asalnya. Jangan mimpi bahwa orang-orang seperti itu bakal membawa klub bola kita ke liga internasional.

Tambahan: Saya diingatkan oleh
Ade soal penyetaraan ijazah. Di satu sisi, dosen-dosen Indonesia lulusan luar negeri diwajibkan untuk datang ke Jakarta untuk "menyetarakan" ijazahnya. Di sisi lain, orang-orang asing kini diundang sebagai penyelamat pendidikan tinggi kita. Sulit untuk tidak merasakan bau inferioritas inlander dalam strategi impor-imporan ini :(  
 
Sumber gambar: https://m.bisnis.com/amp/read/20190728/79/1129550/pemerintah-targetkan-perguruan-tinggi-yang-dipimpin-rektor-asing-capai-ranking-100-besar-dunia 
 
Soal Bertil Andersen, sila baca di sini: https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20171215122350628