Malam ini, Ayu, teman sefakultasnya, baru saja membicarakan tentang rencananya, bahwa, ia, sudah memiliki tempat yang cocok untuk pelaksanaan KKN mereka, dan Nur akan ikut dalam observasi pengenalan pada desa tersebut.
"Wid, nang ndi?"
"nang omah Nur, yo opo, wes oleh nggon KKN'e" (di rumah Nur, gimana, sudah dapat tempat KKN'nya)
"engkok bengi Wid aku budal karo Ayu, doaken yo" (nanti malam Wid, aku berangkat sama Ayu, doakan ya)
"nggih. semoga di acc ya"
"Aamiin" balas Ayu, mematikan telpon
detik-demi detik berputar, tanpa terasa malam telah tiba, Nur melihat sebuah mobil kijang mendekat. dari dalam, keluar sahabatnya Ayu, di belakangnya, ada sosok lelaki.
mungkin itu adalah mas Ilham, kakak Ayu. pikir Nur dalam hati.
mas Ilham membawakan barang Nur, kemudian mobil pun mulai berangkat.
"adoh gak Yu" (jauh tidak yu) tanya Nur,
"paling 4 sampe 6 jam, tergantung, ngebut ora" (paling 4 sampai 6 jam, tergantung ngebut ndak)
Ayu terlihat begitu antusias, sementara Nur, ia merasa tidak nyaman.
namun, Nur, tidak bisa mengambil spekulasi apapun, ada temanya yang lain, yang menunggu kabar baik dari observasi hari ini.
"Hutan. desa ini ada di dalam hutan" kata mas Ilham.
Hutan D********, tidak beberapa lama, nyala lampu dan suara motor terdengar. mas Ilham, melambaikan tanganya.
Nur dan Ayu, mengangguk, pertanda ia mengerti. tanpa berpikir panjang, Nur sudah duduk di jok belakang, dan mereka berangkat
melihatnya dari balik jalan lain, Nur mendapati, si wanita sudah hilang, tanpa jejak. ia tahu, dirinya sudah di sambut dengan entah apa itu.
pria itu ramah, dan murah senyum, menyambut tanganya, Nur mendengar si pria memperkenalkan diri.
"kulo, Prabu" (saya Prabu)
"tolong lah mas" kata mas Ilham, "dibantu, adikku,"
suasana saat itu, tegang.
"ngeten loh pak, ngapunten, kulo nyuwun tolong, kulo bakal jogo sikap ten mriki, mboten neko-neko, tolong pak" (begini loh pak, maaf, saya minta tolong, saya akan menjaga sikan disini)
"piro sing KKN dek?" (berapa yang KKN nanti dek?)
dengan bersemangat Ayu menjawab. "6 pak"
disana ia sudah tahu proker apa saja yang akan menjadi wacana mereka, salah satunya, kamar mandi dengan air sumur
di bawahnya, ada sesajian lengkap dengan bau kemenyan.
"kasihan mas Ilham, wes ngenteni" ucap Nur.
"yo wes, ayok" Ayu menimpali.
mereka pun segera naik motor, sebelum keluar dari desa itu. sosok yang Nur lihat, apalagi bila bukan Genderuwo.
"Bima, lapo ngejak cah kui" (ngapain sih ngajak Bima)
"ben rame, kan wes kenal suwe" (biar rame, kan sudah kenal lama) sahut Ayu
"kan awakmu biyen sak pondok'an, wes luwih suwe kenal" (kan kalian pernah satu pondok, jadi sudah kenal lebih lama) "pokok'e jak en arek iku yo" (pokoknya ajak anak itu ya)
"tak telpone Widya, ben cepet di gawekno Proposal'e mumpung pihak kampus gurung ngerilis daftar KKN'e, gawat kalau pihak kampus wes ngerilis yo, mumpung wes oleh enggon KKN dewe" (biar Widya tak telpon, biar cepat di buatkan proposalnya)
pelan, mobil itu pun meninggalkan jalanan hutan itu. Nur dan Ayu, kembali ke kotanya, mempersiapkan semua, sebelum mereka nanti kembali.
setelah menunggu cukup lama, akhirnya 2 orang yang akan bergabung dalam kelompok KKN mereka pun muncul, namanya adalah Wahyu dan Anton. mereka pun membicarakan semua proker dan menentukan-
hanya sebuah harap, yang Nur panjatkan, bahwa mereka berangkat dengan utuh dan semoga, pulang dengan utuh juga.
tetapi, tidak ada yang tahu, doa seperti apa yang akan di ijabah oleh tuhan.
tepat di pemberhentian lampu merah, seseorang, menggebrak kaca mobil Elf'nya, Nur begitu terkejut sampai tersentak mundur, dari dalam mobil, Nur melihat pengemis tua itu, ia terus menggebrak
"ojok budal ndok" (jangan berangkat nak) suaranya terdengar familiar, seperti suara wanita tua
tanpa membuang waktu, mereka pun melanjutkan perjalan.
hanya terdengar suara motor berderu, tanpa ada suara binatang malam, namun, semua berubah ketika tiba-tiba, dari jauh, terdengar suara gamelan.
masih mencari, darimana suara itu terdengar, tepat di antara rerumputan di samping jalan setapak. terlihat, seorang wanita menunduk
menari di tengah malam, di tengah, kegalapan hutan yang sunyi senyap.
siapa yang menari di malam buta seperti ini. Nur terdiam dalam kengerian yang ia rasakan sendirian.
"Pak, kok Deso'ne pelosok men yo"
"pelosok yo opo to mbak, wong tekan dalam gede mek 30 menit loh" (pelosok darimana sih mbak, orang dari jalan raya hanya 30 menit)
Nur hanya melihat saja, ia tidak mau mengatakan apapun, termasuk wajah Ayu yg memerah entah karena malu atau apa.
ia masuk ke sebuah rumah milik salah satu warga yang tidak berkeberatan, untuk mereka tinggali selama menjalankan tugas KKN mereka, disana rupanya perdebadan Widya dan Ayu berlanjut
Nur masih melihat, alih-alih menengahi, Nur lebih kepikiran dengan hal lain, salah satunya, genderuwo itu, untuk apa ia mengintainya.
"Awakmu mau krungu ta gak, onok suoro gamelan nang tengah alas mau?" (kamu tadi dengar atau tidak, ada suara gamelan di tengah hutan tadi?!)
Nur, yang mendengar itu bereaksi pada Ayu.
"Yu, gak onok loh deso maneh nang
"jare wong biyen, nek krungu suoro gamelan, iku pertanda elek" (kata orang dulu, bila mendengar suara gamelan, itu artinya sebuah pertanda buruk)
Malam itu, berakhir, meski perdebadan masih terus berlanjut di batin mereka masing-masing.
pertanda apa yang sudah menunggu
"ngomong opo Nur?" (ngomong apa Nur) tanya Ayu,
Nur dan Ayu pergi ke pawon (dapur) , wajah Nur, masih tegang, ia masih ingat, matanya tidak mungkin salah, ia melihat makhluk itu.
(Yu, aku mau tanya, kamu gak ngerasa aneh'kah di desa ini, kamu ingat, kok bisa-bisanya pak Prabu-
"Opo seh maksudmu ngomong ngunu?!" (apa sih maksudmu ngomong kaya gitu?!) ucap Ayu ketus.
"bekne, pak Prabu nduwe alasan, lapo ngelarang awak dewe KKN nang kene" (mungkin, pak Prabu punya alasan, kenapa melarang-
"nek awakmu ngomong ngene, soale perkoro Widya mau, ra masuk akal Nur, awakmu melu observasi nang kene kan ambek aku, opo onok sing aneh? gak kan. wes talah, mek pirang minggu tok ae loh" (kalau kamu ngomong begini karena perkara Widya tadi, gak masuk akal Nur-
Ayu pergi, meninggalkan Nur. sementara Nur, tidak mungkin menceritakan apa yang ia lihat, Ayu bahkan tidak percaya dengan hal yang ghaib. Nur pun mengalah lagi.
Nur hanya mengangguk.
"wes, Nur, jogo awak dewe-dewe yo, insyallah, gak bakal onok kejadian opo-opo nek kene hormat lan junjung unggah-ungguh selama nang kene"
ucapan Widya setidaknya membuat Nur sedikit lebih legah, namun, Nur tidak menceritakan tentang sosok Hitam yang mengintai mereka
terdengar binatang malam bersahut-sahutan, berlomba untuk menunjukkan eksistensinya.
rumah desa, tentu saja. pikir Nur, memaklumi, sekat kamarpun tidak menyentuh langit, jadi Nur, bisa melihat celah disana.
perasaan tidak enak, tiba-tiba muncul begitu saja. membuat Nur, lebih awas.
Nur tercekat, ia beringsut mundur, menutup wajahnya dengan selimut yang ia bawa.
tanpa sadar, Nur mulai membaca ayat kursi.
kerasnya suara itu, menghantam,
salahkah.
tepat ketika isi hati Nur menyeruak, perlahan, suara itu menghilang, hilang, hilang, berganti hening.
Nur, hanya meyakinkan dirinya, tidak akan bercerita-
pak Prabu menjelaskan sembari berjalan, sementara anak-anak mengikutinya
selain itu, pemandangan pemakaman itu, juga terkesan sangat aneh.
namun Nur, merasakan angin dingin, seperti mengelilinginya, ia tahu, ada yang tidak beres dengan tempat ini. seakan-akan, tempat ini, sudah menolaknya.
namun, Nur, seakan tahu, ia tidak sanggup lagi mengikuti kegiatan keliling desa ini, maka ia, ijin pamit untuk kembali ke penginapan, untungnya, pak Prabu mengijinkanya.
semua anak melanjutkan tour mereka bersama pak Prabu, sementara Nur dan Bima, berjalan kembali ke area rumah tempat mereka menginap.
"onok opo Nur? setan maneh?" (ada apa Nur? ada hantu lagi?)
Nur hanya tersenyum kecut, menjawabnya seadanya, bila mungkin kesehatanya sudah menurun, namun Bima tahu, Nur berbohong.
"nang kuburan mau, rame ya" (di pemakaman-)
ucapan Bima tidak di gubris sama sekali dengan Nur, sehingga Bima akhirnya menyerah, di tengah perjalanan pulang itu, tiba-tiba Bima menanyakan sesuatu yang membuat Nur menaruh curiga pada Bima.
"Nur, aku takok. Widya wes nduwe pacar rung?"
"piye?" (gimana?) tanya Nur lagi.
"kancamu" (temanmu) "Widya loh, wes onok pacar opo durung?" (Widya loh, sudah punya pacar apa belum?)
"takono dewe ae yo" (tanyakan sendiri saja ya)
Nur tahu, Bima suka kepada Widya hari itu.
semua anak sudah berkumplul, dan Ayu menunjukkan proposal proker mana saja yang sudah di setujui pak Prabu, dimana Ayu, membagi menjadi 3 kelompok, terlepas dari 1 proker kelompok
semua anak sepakat, tidak ada yang komentar banyak, mengingat, Ayu yang paling berjasa sehingga bisa mendapatkan tempat KKN tanpa campur tangan pihak kampus.
lusa, adalah awal dari persiapan proker mereka.
"Nur, ados yok" (Nur, mandi yuk)
"nang ndi?" (dimana?) tanya Nur,
"nang Bilik sebelah kali, cidek Sinden kui loh, eroh kan awakmu, kolam cilik"
Nur, tidak menjawab. namun setelah memikirkan, bahwa ia belum membasuh badanya sejak pertama kali datang kesini, ia pun setuju. dengan syarat, Nur mau menjadi yang pertama mandi.
ketika, di perhatikan dengan seksama, apa yang ada di dalam kendi, air itu di penuhi rambut
Nur, dengan berselimut handuk, mencoba membuka pintu bilik, namun, pintu seperti di tahan oleh orang yang ada di luar.
namun, tetap tidak ada jawaban apapun dari Widya, sampai, Nur menyadari, di belakangnya, ada sosok Hitam itu, besar sekali, sampai menyentuh langit bilik.
Nur pun memejamkan mata rapat-rapat.
"lapo Wid?" (kenapa Wid?)
"He?" "gak popo" ucap Widya saat itu.
"wes ndang adus, ben aku sak iki seng jogo, cepetan yo, wes peteng" (ayo mandi, biar aku yang jaga, cepat ya, sudah mau malam)
ketika Nur, berjaga di luar, ia sayup-mendengar suara orang berkidung.
Nur mencoba mengabaikanya, tetap berusaha memanggil sahabatnya, sampai, dari salah satu celah, ia melihat
wanita cantik itu, membasuh badanya dengan anggun, sembari berkidung dengan suara yang membuat Nur tidak tahu harus berujar apa.
sampai, sosok itu tersenyum seolah tahu, Nur melihatnya. lalu, ia bergerak menuju pintu, membukanya, dan saat itulah, Nur melihat Widya, keluar dengan wajah kebingungan,
pesan apa?
Widya dalam bahaya, atau, dirinya yang sedang dalam bahaya.
Ayu sempat bertanya pada Nur, apakah Anton menemani, namun Nur mengatakan, ia bisa sendiri, meski Ayu menawarkan diri, namun Nur menolaknya
dan, ia merasa harus bertemu beliau malam ini, seakan-akan ada yang membisikinya bahwa, ia harus pergi ke rumah pak Prabu.
"niki tiang'e ten pundi to pak, kopi'ne kelebihan setunggal??" (ini yang punya kemana ya pak, kopinya kelebihan satu?)
"wes ta lah, di ombe sek, gak oleh nolak paringane tuan rumah nang kene yo. gak apik" (sudahlah, di minum dulu, gak baik nolak pemberian tuan rumah disini. tidak bagus pokoknya)
"nggih pak" ucap Nur
si kakek bertanya. "yo opo rasane?"
si mbah mengangguk puas, kemudian bertanya kembali. "sak iki ceritakno, onok opo, cah ayu mrene?" (sekarang, kamu boleh cerita, kenapa kamu kesini anak cantik?)
"kulo bade tandet ten pak Prabu mbah" (saya mau tanya sama pak Prabu kek)
"takon perkoro" (tanya soal)
saat itulah, pak Prabu bicara
"ndok, guk salahmu kok, sing ngetutke awakmu, iku ngunu, gak nyaman, mbek sing mok gowo" (nak, ini bukan salahmu, alasan kenapa kamu diikuti, karena kamu bawa sesuatu dari luar)
si kakek, kemudian melanjutkan. "awakmu ndok, iku ngunu, onok sing njogo, yo. sopo?? mbah dok, nah, iku sing gak di terimo nang kene. ngerti ndok"
"kulo, njogo? ngapunten, kulo mboten paham" (saya, menjaga. mohon maaf, saya belum mengerti)
"wes, ngene ae, mene bengi, mampir rene maneh yo, tak duduno sesuatu"
meski tidak mengerti maksud ucapan pak Prabu dan lelaki renta itu, Nur akhirnya kembali ke penginapanya. dengan membawa nama lelaki renta itu, yang menyebut dirinya dengan nama "Mbah Buyut"
berharap mendapatkan ketenangan dalam tidurnya, Nur malah mendapat mimpi, tak terlupakan, sepeti sebuah pesan untuknya.
kalimat itu, terus Nur, ucapkan. dan, sampailah, ia, di keramaian itu.
ketika, Nur tengah asyik menikmati pertunjukkan itu, tiba-tiba, terdengar sayup seseorang berteriak, anehnya, hanya Nur yang merasa mendengarnya
seekor ular tengah menatapnya, ia mendesis, membuat Nur hanya bisa terpaku melihatnya.
sisiknya hijau zambrud, meski ukuranya tidak terlalu besar, ular itu cukup membuat Nur ketakutan, dengan tenaga yang tersisa, Nur merangkak menjauhinya.
Widya memeluk ular itu, seperti peliharaanya, membiarkan ular itu, melilit lenganya, seakan-akan ular itu adalah temanya.
melihat itu, Nur tidak tahu harus bicara apa
meski masih dalam keadaan shock, Nur segera berlari menuju suara bising itu, rupanya, di luar rumah, ramai orang tengah berkumpul.
Nur melihat, Wahyu, Ayu, ibu pemilik rumah, Widya
yang ia dengar hanya ucapan ibu pemilk rumah.
"Wes, wes, ayo ndok, melbu ndok, wes bengi" (sudah, sudah, ayo masuk, sudah malam)
namun, ketika mata Nur dan Widya bertemu, ada tatapan kebingungan disana.
"onok opo toh yu, kok rame men?"
(ada apa sih yu, kok berisik sekali?)
Widya, hanya itu yang terbesit dalam pikiranya Nur. ia tahu, ada yang janggal dari dirinya, Widya dan tempat ini.
yang mbah Buyut pertama ucapkan adalah "ndok, mambengi ngimpi opo?" (nak, semalam kamu mimpi apa?)
mbah buyut hanya mengangguk, tidak berbicara apapun, ia hanya berujar, bahwa, yang ingin di ketahui Nur, adalah sosok hitam yang mengikutinya.
disana, pak Prabu, menggorok seekor ayam, dimana darahnya di tab di sebuah wadah, sebelum menyiramkanya di batu itu.
Nur mengangguk, ia percaya.
Mbah Buyut tersenyum, "sing bakal mok delok iki, siji tekan atusan ewu wargane deso iku"
Nur terdiam mendengarnya, dan benar saja, ia bisa meihat makhluk hitam itu, tengah menjilati batu yang baru di guyur darah ayam kampung itu.
"awakmu sadar utowo gak, asline, awakmu gowo barang alus sing di anggap tamu nang deso iki, coro alus'e ngunu yo ndok" (kamu sadar atau tidak, sebenarnya, membawa tamu ke desa ini, cara gampangnya gitu)
"masalahe, sing mok gowo iku wes di kunci nang njero Sukmo'mu, nek di jopok, awakmu isok mati" (masalahnya, barang itu sudah terikat di-
"aku wes ngerembukno karo mbah Buyut, nek barangmu gak usah di jopok, tapi, di culno, selama awakmu masih onok nang kene, barangmu kepisah ambek awakmu"
(aku sudah berunding sama mbah Buyut, bila apa yang ada dalam diri kamu, gak usah-
"barang nopo to mbah?" (barang seperti apa?)
Mbah Buyut mendekati Nur, sebelum, menarik ubun-ubunya, kemudian melemparkanya ke batu itu.
"wes mari ndok, sak iki, awakmu isok fokus garap tugasmu, gak bakal onok sing nganggu maneh" (sudah selesai nak, sekarang, kamu bisa fokus garap tugasmu, gak akan ada yang ganggu kamu lagi)
"aneh? sopo?" (aneh, siapa?)
"sopo maneh, kancamu, Bima" (siapa lagi, temanmu, si Bima)
"aneh yo opo?" (aneh bagaimana?)
"temen? sumpah!!" (serius? beneran!!)
"ambek, ojok ngomong sopo-sopo yo, temen yo, tak kandani?" (sama, tapi janji jangan bilang siapa-siapa ya)
Nur masih mencoba menahan diri, ia masih tidak bereaksi mendengar Bima di tuduh seperti itu oleh Anton.
"trus, nang ndukur Sesajen iku, onok fotone kancamu, Widya, opo, Bima kate melet Widya yo" (trus, di atas sesajen itu, aku menemukan foto temanmu, Widya, apa, Bima mau pelet si Widya ya)
"nek awakmu gak percoyo, ayok tak jak nang kamare, ben awakmu ndelok, nek aku gak mbujuk" (kamu kalau gak percaya ayo sini ikut, tak tunjukkan kalau aku-
mendengar Anton menantang seperti itu, saat itu juga, Nur mengikuti Anton yang tengah berjalan menuju tempat mereka menginap.
teman sepondok pesantrenya jadi seperti ini.
"sopo sing nang kamar ambek Bima?" (siapa yang ada dikamar sama Bima?)
"yo iku masalahne" (itu masalahnya)
Nur, tiba-tiba mendekati almari, ia merasa mendengar sesuatu disana. tepat ketika, almari itu terbuka, Nur dan Anton tersentak kaget saat melihat, ada ular
Ular itu berwarna hijau, kemudian lenyap setelah melewati jendela posyandu.
Anton dan Nur hanya saling menatap satu sama lain, tidak ada hal lagi yang harus mereka bicarakan.
meski Bima selalu bisa membalik pertanyaan Nur, ia tahu, Bima berbohong
manakala ketika ia mencari, ia melihat Bima, sedang menabur sesuatu di tempat dimana Widya
Nur, yang selalu membersihkan bunga-bungaan itu. aneh, namun kelakukan Bima semakin membuat Nur penasaran.
namun, masalah tidak hanya berhenti di Bima saja, melainkan sahabatnya Widya.
setelah maghrib, Nur pergi ke dapur untuk minum, saat, ia melihat Widya-
wajahnya kaget dan bingung melihat Nur, "lapo Wid?" tanya Nur yang juga kaget dan bingung.
mata mereka saling bertemu, namun, hanya untuk saling mengamati satu sama lain.
"onok opo toh asline?" (ada apa sih sebenarnya?) tanya Nur.
Nur melihat tangan Widya sampai gemetaran,
"ramene, onok opo toh" (ramai sekali, ada apa sih) tanya Ayu.
"lapo Wid?" (kenapa Wid?) tanya Wahyu yang mendekati.
"tanganmu kok sampe gemetaran ngene, onok opo seh asline?" (tanganmu kok sampai gemetar begini, ada apa?)
"Nur jupukno ngombe kunu loh, kok tambah meneng ae" (Nur ambilkan air minum gitu loh, kok malah diam saja)
kaget mendengar teguran Anton, Nur lalu mengambil teko air, dan memberikanya pada Widya, disini hal mengerikan itu terjadi..
lalu, Widya memeriksa isi teko, disana, semua orang melihat, didalamnya, ada segumpal rambut hitam panjang didalamnya.
ucapan Anton, membuat suasana semakin tidak kondusif, ditengah kepanikan itu, tiba-tiba Nur, teringat dengan sosok penari yg ia lihat
Nur terdiam untuk mendengarkan
rupanya, suara itu berasal dari Ayu dan Bima,
untk apa mereka berkelahi
"nang ndi Kawaturih sing tak kek'no awakmu, aku kan ngongkon awakmu ngekekno nang Widya seh!!! kok arek'e gorong nerimo iku!!"
"dimana mahkota putih yang aku serahkan sama kamu-
Nur tidak memahami maksud mahkota putih itu, namun, Nur mengerti, ada sesuatu, diantara mereka.
banyak warga yang mengeluhkan bahwa proker Ayu dan Bima adalah proker yang paling banyak di tentang, namun Nur belum paham alasan kenapa di tentang.
sampai Anton memberitahu.
Nur masih belum mengerti maksud Anton.
"yo aku gak eroh, wong, di larang kok" (ya aku mana tau, pokoknya di larang)
"Lha matamu, gendeng'a wong pak Prabu ae mewanti ojok sampe melbu kunu, iku ngunu langsung alas"
namun, Nur masih penasaran, sehingga ia tetap bersikeras mau kesana, jadi ia bertanya pada Anton meski dengan mengatakan bahwa ia bertanya untuk menghindari tempat itu.
setelah Anton pergi, Nur menatap tempat itu
meski tidak tahu apa yang Nur lakukan disini, namun perasaanya seolah terus menerus mendesaknya untuk melihat ujung jalan setapak ini, kemana ia membawanya.
namun, ia semakin curiga, semakin masuk, sesuatu ada disana
lalu, kenapa tempat ini seolah di keramatkan.
langit sudah mulai petang, Nur bersiap akan kembali, tetapi, langkahnya terhenti saat ia merasa ada hembusan angin dari semak beluntas di depanya, ia pun, menyisir semak itu, sampai..
Nur berkali-kali melihat langit, hari semakin gelap, namun, ia justru mendekat
selain kotor dan tak terurus, tidak ada apapun disini, kecuali, sisi ujung dengan banyak gamelan tua tak tersentuh sama sekali.
ia menyentuh alat musik kendang, mengusapnya, dan semakin yakin, tempat ini sudah sangat lama di tinggalkan.
kegelapan, sudah menyelimuti tempat itu, langit sudah membiru, namun. Nur merasa tugasnya belum selsai
ketika Nur berbalik menatap sesiapa yang baru saja memanggilnya, Nur mematung melihat Ayu, berdiri dengan muka tercengang, dari belakang, muncul Bima, tidak kalah tercengang
suasana menjadi sangat canggung
Ayu dan Bima hanya mematung, tidak menjawab pertanyaan Nur sama sekali, hal itu, membuat Nur mendekati mereka, melewatinya dan kemudian ia melihat ada sebuah gubuk di belakang bangunan ini.
Nur berbalik, ia kecewa
Bima hanya diam, Ayu, apalagi.
"aku gak ngomong mbek koen yu, aku ngomong karo Bima" (aku gak bicara sama kamu yu, aku mau bicara sama Bima)
tatapan Nur membuat Ayu beringsut mundur, Bima masih diam, sebelum Nur akhirnya menggampar tepat di pipinya Bima.
"pindo'ne" (kedua kalinya)
Nur tidak tahu harus berucap apa, "sek ta lah, opo sing jare Anton nek krungu suara cah wadon gok kamarmu iku koen ambek Ayu!!" (tunggu, ini artinya, apa yang dikatakan Anton soal dia dengar suara-
namun, Bima menatap wajah Nur dengan kaget, tidak hanya itu, Ayu juga terperangah tidak percaya, kemudian menatap Bima dengan sengit, seakan Nur salah bicara.
"maksude Nur?" (maksudnya Nur?!) tanya Ayu kaget.
"wes wes, ayo mbalik, engkok tak ceritakno kabeh, tulung, ojok ngomong sopo sopo dilek yo Nur" (sudah, ayo kembali dulu, nanti tak ceritakan semua, tolong jangan ngomong ke siapa2 dulu, ya Nur)
Nur, Ayu dan Bima pergi.
"gak isok nek ngunu, bakal tak gawe rame masalah iki ambek keluargamu, lanang iku kudu wani tanggung jawab ambek perbuatane" (tidak bisa seperti itu, akan ku buat ramai nanti sama keluargamu-
Ayu yang sedari tadi diam, kemudian bicara. "Nur, tolong, ojok di gawe rame disek, yo opo engkok reaksine warga, pak prabu, utowo arek2" (Nur, tolong, jangan di buat ramai dulu, gimana coba reaksi semua orang) ucap Ayu
"goblok ya wong loro iki, dipikir masalah iki mek masalah mu tok tah, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir liane, gak mikir-
(goblok ya kalian, di kira ini masalah sepele, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir yang lain, gak mikir nama kampusmu, gak mikir-
Ayu yang mendengar itu perlahan sesenggukan, Nur tahu, ia menangis, namun Bima, ia seperti menyembunyikan sesuatu. ada yang belum ia jelaskan sama sekali.
"Widya karo wahyu ton?" (Widya sama wahyu ya ton)
Anton mengangguk. "iyo"
"awakmu pasti pegel kan," "istirahat sek Wid" (kamu pasti kecapekan kan, yao istirahat dulu Wid) kata Bima.
"Deso tetangga opo? gak onok maneh deso nang kene?" (desa tetangga apa, gak ada lagi desa disini) kata Bima mengingatkan.
"halah, ngapusi, eroh teko ndi awakmu?!" (halah, bohong kamu, tahu darimana?) sanggah Wahyu saat itu.
"ngapusi koen halah tot" (bohong kamu dasar, sial)
alih-alih setelah mendengar itu, Wahyu semakin tidak terima,ia kemudian memanggil Widya, "Wid duduhno opo sing di kek'i-
dengan enggan Widya membuka isi tasnya, Wahyu yang sudah tidak sabar segera merebutnya, meraihnya dengan tanganya, namun, ekspresinya berubah manakala ia mengeluarkan barang itu.
Nur sempat melihat Wahyu dan Widya bertukar pandang, ia tahu ada yg salah
seketika, reaksi semua orang membalikkan wajahnya, termasuk Nur yang segera mengambil kain untuk menutupinya, baunya amis dan membuat seisi ruangan mual
Wahyu, ia muntah sejadi-jadinya, semalaman, semua orang termenung dengan berbagai kejadian ganjil, termasuk Nur, dimana Widya mencuri pandang
dengan cekatan dan mengambil resiko, Nur mengambil isi tas Ayu, membawanya menuju ke pawon (dapur) sendirian. ia merasa, benda itu disana
sebuah selendang hijau milik penari
dan, tabuhan kendang di ikuti alunan gamelan berkumandang, Nur tahu, si penari ada disini,
apa yang Ayu sebenarnya lakukan
apa yang Bima sembunyikan?
"nyapo Wid awakmu nang kene?" (ngapain kamu wid, ada disini?)
namun Widya hanya berujar "ojok di terusno"
Widya duduk di depan Nur, cara Widya berbicara sangat berbeda, mulai dari suara sampai logat cara menyampaikan pesanya, itu khas jawa sekali yang sampai Nur tidak begitu mengerti. yang Nur tangkap hanya kalimat "salah" "nyawa" "tumbal" itu pun tidak jelas
kalimat terakhir yang Widya ucapkan sebelum kembali ke kamarnya adalah, "kamu bisa pulang dengan selamat, saya yang jamin" tapi dengan logat jawa
Bima tampak menimbang apakah dia harus bicara atau tidak sampai akhirnya ia menyerah dan mengatakanya.
"aku khilaf Nur" kata Bima,
"cah iki, pancet ae" (benar2 ya)
"maksude?" tanya Nur penasaran.
"jin" tanya Ayu,
"gak. menungso" (tidak. manusia)
"mosok onok, iku ngunu jin," (mana ada, itu jin)
Nur yang mendengar itu, semakin tersulut, "goblok yo koen, gorong 4 tahun, wes rusak utekmu, syirik koen Bim"
"di gowo Ayu, nek jarene, wes ilang" (dibawa oleh Ayu, katanya, sudah hilang)
"aku gak ngurus Bim, balekno barang gak bener iku, awakmu gak paham ambek kelakuanmu, iku ngunu isok gowo balak"
Nur pergi, sekarang, ia tahu harus kemana, menemui Ayu.
"lapo koen?" (ngapain kamu)
Ayu mencoba menahan malu, setiap kali melihat Nur, mata Ayu seperti meratap atas apa yang sudah ia perbuat, dan itu fatal.
Nur kaget, ia di lindungi warga lain, tidak hanya pria itu, ada satu lagi, yang juga di tahan, sayangnya, pria yang satu lagi, melotot pada pria pertama, seakan ia marah pada warga desa itu. "aku wes janji-
warga yang resah akhirnya membawa Nur ke rumah mereka, berikut Ayu dan Anton, di ikuti yang lain, kecuali, Widya.
namun, ketika langit mulai petang, Nur hilang dari kamarnya, warga yang tahu, panik. terakhir kali, Nur pingsan.
"ket kapan isok ndelok Nur?" (sejak kapan kamu bisa lihat begituan?)
sejak awal, Widya juga yang paling aneh di tempat ini.
(aku gak bisa jelaskan secara spesifik, tapi, aku sudah merasa begini sejak mondok, yang jelas, ghaib itu nyata Wid)
teman-temanya sampai memanggil guru mereka, agar Nur di ruqiah, namun, guru Nur menolak, beralasan bahwa, selama tidak menganggu keimanan Nur, di biarkan saja, daripada menjadi boomerang untuk Nur, bahkan,
si guru memanggil jin itu dengan nama "Mbah dok" karena berwujud wanita tua.
hingga, kesempatan itu muncul, Nur, melihat kamar, tanpa ada satu orangpun, Ayu dan Widya mengerjakan proker mereka, Nur membuka almari, mengeluarkan-
ia membongkar semuanya, mencari hingga ke celah terkecil di tas yang Widya bawa, semua persedian yang ia bawa tak luput dari pencarianya, sampai, Nur akhirnya menemukanya.
sebuah logam melingkar, dengan bentuk ukiran dari kemuning, bentuknya indah layaknya-
setelah menemukan Ayu di tempat proker, Nur menarik Ayu, membawanya menjauh sebelum menampar wajahnya sampai Ayu, tidak bisa bicara apa-apa.
"barang opo to Nur?!" (barang apa sih Nur?) tanya ayu.
"selendang hijau iku"
"kok isok awakmu eroh Nur, awakmu kelewatan mbongkar barang pribadine wong liya yo" (kok bisa kamu tahu, kamu itu kelewatan kok bisa bongkar barang milik orang lain)
"sak iki, melu aku nang pak Prabu, ayok" (sekarang, ikut aku ke pak Prabu)
"aku di kongkon ndeleh iku, gawe gantine selendang iku" "selendang sing nggarai Bima gelem mbek aku"
(aku disuruh naruh benda itu, sebagai pengganti selendang itu, selendang yang bikin Bima mau)
"sopo kok!!" (siapa kok!!)
Ayu tetap menolak, bahkan sampai Nur mengatakan apa perempuan yang juga Bima temui yang menyuruhnya, ekspresi Ayu tampak kaget mendengarnya,
Nur menyerah, namun firasat buruknya, semakin terasa
sampai akhir cerita ini belum dipecahkan, bahkan dari saat gw bicara sama mbak Nur, beliau hanya berasumsi, namun tidak berani mengatakan)
saat ia melihat, apa yang membuatnya terbangun, Nur melihat Ayu, dengan mata terbuka, ia mengangah, seperti mau mengatakan sesuatu
"onok opo Nur? (ada apa Nur?)
"Widya ilang mas" (Widya hilang mas)
Wahyu dan Anton terhenyak sesaat, sebelum-
sontak, semua mata memandang Ayu, Wahyu terhentak bingung.
"Ayu kenek opo Nur" (Ayu kenapa Nur)
"celukno pak Prabu!!" (panggilkan pak Prabu)
Anton yang mendengarnya langsung pergi.
"Cok onok opo seh iki" (asem, ada apa sih ini)
"celokno warga ojok ndelok tok!"
"kok isok koyok ngene to nduk" (kok bisa sampai begini sih nak)
Pak prabu, pergi ke pawon, ia kembali membawa teko air, Nur menahan isi kepala Ayu, dan meminumkanya.
dan warga itu pun pergi.
"Asu, kok isok loh" (anj*ng! kok bisa bisanya) Wahyu tampak merah padam mendengarnya.
meski warga awalnya bingung, bagaimana bisa, namun mereka semua langsung bergerak, termasuk Wahyu
Nur terus menangis, melihat kondisi Ayu, membuat ia tidak bisa menahan kesedihan yang sudah memenuhi hatinya
tepat ketika membuka kotak itu, pak Prabu yang melihatnya, kaget bukan main, sampai ia tiba-tiba berteriak marah "OLEH TEKAN NDI IKI?!"
Nur yang kaget, kemudian menjelaskan sisa ceritanya, disana, pak Prabu terlihat frustasi, ia kemudian mengatakan kepada Nur, "nek kancamu gak ketemu, ikhlasno, ben aku sing ngadepi masalah iki" (bila sampai temanmu, tidak ditemukan, ikhlaskan-
Nur pun bertanya, benda apa itu sebenarnya, namun pak Prabu tidak bicara, ia harus menunggu datangnya mbah Buyut yang akan menceritakan semuanya.
mbah Buyut mendetak dengan tergopoh-gopoh, seakan mencari sesuatu,
kemudian ia menatap Ayu, helaan nafas berat mbah Buyut keluarkan, kemudian ia, meminta Prabu membuatkan kopi hitam
Nur menceritakan semuanya,
saat menyesap kopi itu, mbah Buyut berujar "kancamu, keblubuk angkarah"
"trus, yok nopo mbah?" (lalu bagaimana mbah)
"siji kancamu wes ketemu, tapi sukmane gorong, tenang sek, yo" (satu temanmu sudah ketemu lagi, tapi rohnya belum, sabar ya)
tidak beberapa lama, kerumunan warga mendekat, Wahyu masuk wajahnya pucat
ketika Nur melihatnya, ia tidak bisa menghentikan jeritanya, manakala melihat Bima kejang-kejang layaknya seorang yang terkena epilepsi.
Wahyu, segera memeluknya, menutupi Nur agar tidak melihat Bima yang menjadi seperti itu.
mbah Buyut, pergi ke kamar, ia akan mencari Widya, menjelma sebagai Anjing hitam dengan ilmu kebatinanya
tepat di samping lereng, ada tapak tilas, tempat penduduk desa ini mengadakan pertunjukkan tari, bukan untuk manusia namun untuk jin hutan
"itu masalahnya" kata pak Prabu, "asumsi saya, Ayu sejak awal hanya sebagai perantara, ke Widya lewat Bima, namun, Ayu tidak memenuhi tugasnya, akibatnya, Ayu di buatkan jalan pintas, ia di beri selendang hijau itu. tau darimana selendang itu?"
pak Prabu kemudian duduk, matanya merah padam, "seharusnya saya menolak habis-habisan bila bukan karena dia adik teman saya" "selendang itu, adalah selendang yang keramat, tidak ada lelaki yang bisa menolak selendang itu saat di pakai oleh perempuan"
mendengar itu, membuat Nur tidak kuasa melihat Ayu,
"onok opo iki Nur" (ada apa ini Nur) kata Widya, matanya sembab melihat Ayu dan Bima terbujur,
Nur tidak sanggup menceritakanya, Wahyu kemudian berdiri mengatakan semuanya, Widya menjerit sejadi-jadinya, semua diam.
Nur masih mencoba membangunkan Ayu, meski hal itu, mustahil bisa dilakukan.
Wahyu yang sedari tadi sudah menahan diri, mengatakan bahwa Bima dan ayu sudah kelewatan sehingga mereka juga kena getahnya.
mbah Buyut, menjaga rumah ini, konon, semua lelembut sudah mengepung rumah ini.
KKN mereka, resmi di coret, tak ada hasil apapun selama pra kerja mereka.
sedikit panjang dan gw jadikan 1 thread saja. gimana?
namun tetap saja nihil, sampailah mereka di rumah orang yang menawarkan bantuan itu
Ayu, tidak dapat di selamatkan, kecuali, di bawa keluar dari pulau jawa. namun, hal itu, juga mustahil dilakukan.
"di bawa saja ke pulau K********N, saya ada saudara disana" kata mas Ilham waktu itu.
"masalahe-
"kan isok numpak pesawat" (kan bisa naik pesawat) kata mas Ilham,
"isok pesawat gak liwat segoro?" (memang bisa pesawat-
setelah darisana itu, Ayu akhirnya di pulangkan, ia ada di rumah itu kurang lebih 3 bulan, sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir juga, setelah orang tua Ayu mengatakan sudah ikhlas, termasuk mas Ilham.
sejak awal, mbak Nur tidak begitu tertarik dengan unsur seram dalam ceritanya, ia ingin menyampaikan pesan yang terkandung di dalamnya, agar siapapun kita, tetap menjaga tata krama
(kalau mau tanya-tanya, DM saja, di notifikasi gak begitu terbaca karena tertumpuk. selamat malam)
You can try to force a refresh.
Like this thread? Get email updates or save it to PDF!
Subscribe to SimpleMan
This content may be removed anytime!
Try unrolling a thread yourself!
@threadreaderapp unroll