Sering kali kita mendengar kata - kata atau istilah "musibah" yang biasanya merupakan negasi maupun antonim (lawan kata) dari istilah anugerah atau nikmat. Kalau kita mengutip dari Kamus besar Bahasa Indonesia, maka kita akan menenmukan makna musibah yaitu kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa atau bisa juga bermakna malapetaka atau juga bencana.
Sedangkan makna anugerah atau nikmat adalah pemberian atau karunia dari Allah SWT atau mempunyai makna enak, lezat dan juga kesenangan.
Kalau ditarik kesimpulan maka istilah musibah bisa diartikan sesuatu yang berkenaan dengan hal - hal yang menyedihkan sementara anugerah atau nikmat berkaitan dengan hal - hal yang menyenangkan.
Sehingga tidak jarang orang memaknai bahwa yang namanya bencana alam adalah musibah. Mungkin hal ini menjadi sangat wajar karena peristiwa - peristiwa yang mengiringi musibah adalah peristiwa yang menyedihkan dan memilukan seperti kehilangan anggota keluarga yang sanat dicintainya, kehilangan tempat tinggal, mengalami luka - luka atau yang lainnya. Sehingga kehidupan mendadak menjadi serba sulit dan serba kekurangan, baik kekurangan makanan, air bersih, oba - obatan dan lain sebagainya.
Secara mendalam sebenarnya bencana alam adalah bersifat relatif. Dalam artian bahwa bencana itu bisa berupa musibah bisa juga bersifat anugerah (karunia) dari Allah SWT. Hal ini sangat bergantung pada diri seseorang dalam memaknai dan menyikapi bencana tersebut. Karena bersifat relatif, maka bencana ini sangat tergantung dari sudut pandang manusia masing-masing. Bisa jadi bencana menjadi musibah bagi sebagian orang tetapi menjadi anugerah bagi sebagian yang lain.
Dengan kata lain, bencana adalah kiriman dari Allah SWT yang mengandung pelajaran, bukan hanya pelajaran bagi manusia yang tertimpa bencana tetapi juga manusia yang tidak terkena bencana.
Kapan bencana itu menjadi musibah serta kapan bencana itu menjadi anugerah? Jawabannya sangat tergantung seberapa jauh pelajaran dari bencana tersebut terserap dan berdampak positif pada diri manusia, baik yang tertimpa langsung maupun yang hanya menyaksikannya.
1. Muhasabah (Intropeksi Diri)
Kita sangat dianjurkan untuk mengkoreksi dan mengevaluasi diri kita, apa saja hal yang harus kita benahi. Kalu kita cermati bencana seperti tsunami, gunung meletus, gempa bumi adalah fenomena alam yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Ini merupakan bukti kelemahan manusia, dan sudah menjadi hal yang wajar kita merendahkan diri kita di hadapan Allah SWT.
Muhasabah ini menjadi sangat penting dilakukan baik oleh manusia yang menjadi korban maupun orang yang tidak menjadi korban.
Sayyidina Umar bin Khattab, menyampaikan :
Artinya : Hisablah dirimu, sebelum engkau dihisab. Karena sesungguhnya hal itu akan meringankan hisabmu (di hari kiamat).
Pesan dari Sayyidina Umar ini sangat jelas bahwa kita di minta mengkoreksi diri kita, bukan mengkoreksiorang lain. Bagi orang yang terkena musibah, ini adalah fase intropeksi diri atas dosa - dosa yang kita lakukan atas tingkat pemhambaan diri kepada Allah SWT, Tingkat pergaulan sosial serta tingkat sikap kita terhadap lingkungan kita selama ini. Dan bagi mereka yang tidak terkena musibah, ini adalah peringatan bagi diri sendiri sehingga bisa berbuat baik dalam penghambaan kepada Allah SWT, kepada sesama maupun terhadap lingkungan sekitar.
2. Rasa Syukur dan Optimisme
Bersyukur bagi korban adalah ridho atas apa yang menimpanya dan menilai bahwa apa yang menimpanya ini adalah cara Allah SWT melebur dosa - dosa nya dan menaikkan kualitas kepribadiannya.
Bagi mereka yang tidak terdampak bencana, syukur dalam konteks ini mengacu pada syukur atas karunia keamanan yang diberikan oleh Alah SWT, sehingga tidak hanya bisa muhasabah atas peristiwa yang terjadi tetapi juga bisa beribadah dalam situasi yang lebih nyaman.
3. Ladang Amal Ibadah Setelah Kejadian
Jika musibah itu adalah ujian kenaikan derajat, maka kejadian tersebut hanya terjadi bila yang bersangkutan benar - benar lulus dari ujian. Bencana alam merupakan wasilah bagi orang yang terkena untuk sabar, ikhtiar, tawakkal serta semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kualitas kepribadian seorang manusia akan meningkat manakala materi ujian dapat dilaluinya dengan baik dan benar.
Terima kasih, semoga bermanfaat
Secara mendalam sebenarnya bencana alam adalah bersifat relatif. Dalam artian bahwa bencana itu bisa berupa musibah bisa juga bersifat anugerah (karunia) dari Allah SWT. Hal ini sangat bergantung pada diri seseorang dalam memaknai dan menyikapi bencana tersebut. Karena bersifat relatif, maka bencana ini sangat tergantung dari sudut pandang manusia masing-masing. Bisa jadi bencana menjadi musibah bagi sebagian orang tetapi menjadi anugerah bagi sebagian yang lain.
Dengan kata lain, bencana adalah kiriman dari Allah SWT yang mengandung pelajaran, bukan hanya pelajaran bagi manusia yang tertimpa bencana tetapi juga manusia yang tidak terkena bencana.
Kapan bencana itu menjadi musibah serta kapan bencana itu menjadi anugerah? Jawabannya sangat tergantung seberapa jauh pelajaran dari bencana tersebut terserap dan berdampak positif pada diri manusia, baik yang tertimpa langsung maupun yang hanya menyaksikannya.
3 pelajaran penting Memaknai musibah dalam pandangan islam adalah :
1. Muhasabah (Intropeksi Diri)
Kita sangat dianjurkan untuk mengkoreksi dan mengevaluasi diri kita, apa saja hal yang harus kita benahi. Kalu kita cermati bencana seperti tsunami, gunung meletus, gempa bumi adalah fenomena alam yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Ini merupakan bukti kelemahan manusia, dan sudah menjadi hal yang wajar kita merendahkan diri kita di hadapan Allah SWT.
Muhasabah ini menjadi sangat penting dilakukan baik oleh manusia yang menjadi korban maupun orang yang tidak menjadi korban.
Sayyidina Umar bin Khattab, menyampaikan :
حَــاسِبُوْا اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تُحَــــاسَبُوْا فَاِنَّهُ اَهْوَنَ لِحِسَـــابِكُمْ
Artinya : Hisablah dirimu, sebelum engkau dihisab. Karena sesungguhnya hal itu akan meringankan hisabmu (di hari kiamat).
Pesan dari Sayyidina Umar ini sangat jelas bahwa kita di minta mengkoreksi diri kita, bukan mengkoreksiorang lain. Bagi orang yang terkena musibah, ini adalah fase intropeksi diri atas dosa - dosa yang kita lakukan atas tingkat pemhambaan diri kepada Allah SWT, Tingkat pergaulan sosial serta tingkat sikap kita terhadap lingkungan kita selama ini. Dan bagi mereka yang tidak terkena musibah, ini adalah peringatan bagi diri sendiri sehingga bisa berbuat baik dalam penghambaan kepada Allah SWT, kepada sesama maupun terhadap lingkungan sekitar.
2. Rasa Syukur dan Optimisme
Bersyukur bagi korban adalah ridho atas apa yang menimpanya dan menilai bahwa apa yang menimpanya ini adalah cara Allah SWT melebur dosa - dosa nya dan menaikkan kualitas kepribadiannya.
Bagi mereka yang tidak terdampak bencana, syukur dalam konteks ini mengacu pada syukur atas karunia keamanan yang diberikan oleh Alah SWT, sehingga tidak hanya bisa muhasabah atas peristiwa yang terjadi tetapi juga bisa beribadah dalam situasi yang lebih nyaman.
3. Ladang Amal Ibadah Setelah Kejadian
Jika musibah itu adalah ujian kenaikan derajat, maka kejadian tersebut hanya terjadi bila yang bersangkutan benar - benar lulus dari ujian. Bencana alam merupakan wasilah bagi orang yang terkena untuk sabar, ikhtiar, tawakkal serta semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kualitas kepribadian seorang manusia akan meningkat manakala materi ujian dapat dilaluinya dengan baik dan benar.
Terima kasih, semoga bermanfaat