Jika mendengar muatan lokal dalam kurikulum, apa yang terbayang di benak anda? Saya sendiri langsung teringat pelajaran bahasa daerah. Sebagai murid yang sering berpindah tempat tinggal, saya mengalami bahasa daerah sebagai pelajaran yang traumatis. Ibarat dipaksa belajar bahasa asing namun dengan materi yang dibuat untuk penutur asli.
Tentu muatan lokal dalam kurikulum bukan sekadar mata pelajaran bahasa daerah. Sebagai sebuah kebijakan, muatan lokal dalam kurikulum sesungguhnya cukup radikal. Boleh dibilang bahwa kebijakan muatan lokal adalah kali pertama pemerintah pusat memandang guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional.
Buku Indonesian Education karya Christopher Bjork membuat saya memahami bagaimana kebijakan yang dirumuskan pemerintah pusat ini kemudian diterjemahkan dan diterapkan oleh aktor-aktor lokal. Bjork memotret proses ini melalui riset etnografis di 6 SMP di Malang. Hasilnya adalah gambaran yang kaya mengenai proses sensemaking aktor lokal - dan mengapa kebijakan pendidikan kerap gagal membuahkan hasil yang diinginkan perancangnya.
Muatan lokal dalam kurikulum
Mulai digagas pada pertengahan 1980-an, kurikulum muatan lokal merupakan salah satu bentuk reformasi pendidikan paling signifikan pada dekade terakhir Orde Baru. Diterapkan secara nasional pada tahun 1994, kebijakan ini meminta sekolah merancang mata pelajaran baru yang mencerminkan kondisi dan kebutuhan lokal. Mata pelajaran tersebut diberi ruang 20% dari total waktu pelajaran.
Meminta sekolah merancang mata pelajaran bukan perkara sepele. Guru sudah terbiasa - atau mungkin lebih tepatnya dibiasakan - selama sekian puluh tahun terbiasa untuk menyampaikan materi yang ada di buku teks. Ibarat penyanyi kafe yang biasanya melantunkan lagu-lagu orang lain, namun tiba-tiba diminta menggubah lagu orisinil yang sesuai dengan selera pendengar. Tentu bukan hal yang mudah.
Dari perspektif pemerintah pusat, melepaskan kewenangan pembuatan kurikulum juga bukan hal yang mudah. Ibarat pemilik perusahaan yang terbiasa punya kekuasaan mutlak, tiba-tiba diminta untuk membagi sebagian kekuasaan pada bawahannya. Setelah sekian lama menentukan seluruh konten kurikulum, pemerintah pusat harus rela memberi porsi cukup besar pada guru dan kepala sekolah.
Pendek kata, kebijakan muatan lokal dalam kurikulum meminta jutaan guru dan kepala sekolah untuk ikut menentukan arah pendidikan nasional. Seberapa banyak guru yang mampu mengemban tugas ini? Bagaimana jika hasilnya justru lebih buruk dari kurikulum sebelumnya? Demikian kira-kira sebagian kecemasan para pejabat pendidikan di pusat.
Tujuan kebijakan muatan lokal
Jika penuh dengan tantangan, mengapa kebijakan ini diluncurkan? Menurut Bjork, lahirnya kebijakan kurikulum muatan lokal didorong dua faktor utama.
Faktor pertama adalah tekanan lembaga donor internasional. Lembaga seperti Bank Dunia dan ADB getol mendorong desentralisasi dan penguatan otonomi lokal. Kedua hal ini dipandang sebagai obat mujarab untuk berbagai penyakit yang dialami negara-negara berkembang, mulai dari korupsi sampai tidak efektifnya investasi pemerintah pusat. Karena itu, menurut Bjork, lembaga-lembaga donor internasional bahkan menjadikan desentralisasi sebagai syarat untuk mendapatkan kucuran dana. Kebijakan muatan lokal memberi wewenang pada aktor lokal, terutama guru dan kepala sekolah, untuk menentukan arah pendidikan bagi muridnya.
Faktor pendorong kedua adalah turunnya angka partisipasi pada jenjang SMP. Pada tahun 1980-an, jumlah murid SMP mengalami penurunan cukup signifikan. Salah satu yang diduga menjadi penyebab adalah tidak relevannya kurikulum SMP untuk banyak murid. Muatan lokal diharapkan bisa membuat kurikulum menjadi lebih relevan dengan kebutuhan murid.
Para pejabat yang diwawancara Bjork mengatakan bahwa kebijakan muatan lokal juga diharapkan bisa meningkatkan mutu pengajaran. Dengan meminta guru merancang mata pelajaran baru, kebijakan muatan lokal diharapkan memaksa guru untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai desainer kurikulum. Guru dituntut lebih memahami kondisi lokal dan kebutuhan belajar murid, kemudian menerjemahkan pemahaman tersebut menjadi tujuan belajar, aktivitas dan penilaian yang relevan.
Pasang surut otonomi sekolah
Seperti saya tulis di awal, kebijakan muatan lokal otomatis menuntut kepala sekolah untuk tidak hanya berperan sebagai administrator, tetapi juga sebagai pemimpin instruksional. Seorang pemimpin tentu perlu memiliki otonomi untuk membuat keputusan strategis - dalam hal ini tentang 20% dari kurikulum sekolahnya. Kebijakan muatan lokal sesungguhnya merupakan cikal bakal penerapan paradigma otonomi sekolah dalam kebijakan pendidikan di Indonesia.
Saat ini muatan lokal dan otonomi sekolah dalam merancang kurikulum sudah menjadi norma yang ditasbihkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003. Sudah bukan barang baru lagi. Tapi kalau diperhatikan, sesungguhnya otonomi sekolah dalam hal kurikulum mengalami pasang surut.
Menurut Bjork, kebijakan muatan lokal tahun 1994 memberi kewenangan penuh pada sekolah untuk merancang mata pelajaran baru. Pemerintah, baik di pusat maupun kantor-kantor wilayahnya, diposisikan sebagai fasilitator. Tugas mereka adalah membantu guru dan kepala sekolah untuk memahami tujuan dan cara menerapkan kebijakan muatan lokal. Tanggung jawab utama untuk merancang mata pelajaran ada di pundak sekolah. Ini mencerminkan otonomi sekolah yang besar dalam urusan kurikulum.
Otonomi sekolah ini menjadi sedikit lemah di era reformasi (pasca Orde Baru), ketika penyelenggaraan pendidikan didelegasikan kepada pemerintah daerah. Dalam urusan kurikulum, UU Sisdiknas 2003 menetapkan bahwa pemerintah pusat hanya membuat kerangka dasar dan struktur kurikulum. Kurikulum dalam arti silabus tiap mata pelajaran dibuat oleh satuan pendidikan (sekolah atau madrasah) “di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama”.
Saya tidak tahu apakah hal ini berarti sekolah tidak lagi bebas membuat mata pelajaran sendiri untuk mengisi bagian “muatan lokal” dalam kurikulum. Melihat bahwa sekolah negeri di tiap daerah menawarkan paket mata pelajaran yang sama, saya menduga demikian. Tapi saya belum menemukan riset yang secara langsung menelaah kebijakan dan praktik kurikulum pada periode awal era reformasi.
Yang jelas, sepuluh tahun sejak UU Sisdiknas, otonomi sekolah kembali dipangkas melalui kebijakan Kurikulum 2013. Secara normatif, guru dan sekolah memang masih memiliki kewenangan untuk membuat kurikulumnya sendiri. Namun standar isi dalam Kurikulum 2013 sudah sedemikian rinci sehingga mendorong guru untuk mengadopsi saja rumusan tersebut dalam silabusnya. Guru juga dipaksa menggunakan buku teks yang dibuat dan diedarkan secara nasional oleh pemerintah pusat.
Bagi saya, pasang surut otonomi sekolah dalam urusan kurikulum mencerminkan siklus tak sehat antara rendahnya kapasitas aktor lokal (guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan) dan ketidakpercayaan pemerintah pusat pada aktor lokal. Ini adalah salah satu tantangan utama yang perlu dipecahkan, jika kita ingin melihat perbaikan fundamental dalam kualitas pendidikan.