Breaking

Friday, October 16, 2020

Benarkah Asesmen Nasional Tidak Punya Landasan Hukum?


Kemendikbud telah meluncurkan Asesmen Nasional sebagai pengganti Ujian Nasional. Berbeda dengan Ujian Nasional (UN), Asesmen Nasional (AN) tidak menilai prestasi murid sebagai individu. AN murni dirancang sebagai evaluasi terhadap sistem pendidikan.

Dari pengamatan saya di beberapa forum yang membicarakan AN, salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah soal landasan hukum. Persoalan ini menjadi perhatian utama para birokrat dan pejabat pendidikan, baik di pusat maupun daerah. Dalam alam pikir birokrasi, tampaknya segala sesuatu memang dianggap haram kecuali yang diperbolehkan. Dengan kata lain, tidak ada program yang bisa dijalankan kalau belum jelas landasan hukumnya. Tanpa landasan hukum, AN adalah barang ilegal yang haram untuk dijalankan.

Nah, apakah penghapusan UN memiliki landasan hukum? Bagaimana dengan penyelenggaraan AN itu sendiri, apakah ada landasan hukumnya? Jawaban pendeknya: ada di level undang-undang, tapi belum ada peraturan turunannya. Mari kita bahas sedikit lebih rinci.

Penghapusan UN


Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengatur soal evaluasi pendidikan melalui tiga pasal kunci: Pasal 57, 58, dan 59. Penghapusan UN didasarkan pada Pasal 58 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
"Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan."
Ayat di atas jelas menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Bukan oleh pemerintah atau lembaga eksternal. Ini masuk akal karena yang dapat mengetahui hasil belajar murid secara komprehensif adalah para gurunya. Tes-tes terstandar seperti UN dan AN tidak mungkin menangkap hasil belajar murid secara utuh. 

Dengan demikian Pasal 58 ayat 1 menjadi dasar untuk menghapus UN. Sebagai informasi, UN selama ini digunakan bukan hanya untuk pemetaan mutu, tapi juga untuk menilai pencapaian individual murid. Ini terlihat dari kewajiban setiap murid kelas 9 dan 12 mengikuti UN. Ini juga terlihat dari adanya sertifikat hasil UN sebagai pengakuan atas prestasi tiap murid, yang kemudian digunakan sebagai kriteria seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sekali lagi, Pasal 58 ayat 1 secara jelas menyatakan bahwa evaluasi terhadap murid merupakan wewenang guru. Karena itu penghapusan UN sebagai alat evaluasi murid punya justifikasi yang kuat. Tapi ini menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi landasan hukum UN selama ini? 

Lemahnya landasan hukum UN


Di tingkat undang-undang, UN sebenarnya tidak memiliki landasan yang kokoh. Yang biasa dikutip sebagai landasan UN adalah Pasal 58 ayat 2. Berikut bunyi lengkap ayat tersebut:
“Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.”
Frase “evaluasi peserta didik” dalam ayat ini memang sepintas membenarkan penilaian hasil belajar murid oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tapi jika dibaca secara lengkap, sebenarnya jelas bahwa ayat tersebut berbicara tentang evaluasi terhadap sistem pendidikan. Bukan evaluasi terhadap prestasi murid sebagai individu.

Hal ini terlihat dari pemberian mandat pada lembaga mandiri untuk melakukan evaluasi yang menyeluruh dan sistemik. Pelaksanaan oleh lembaga mandiri menjadi relevan ketika tujuan evaluasi adalah untuk menilai kinerja sekolah dan pemerintah daerah (sebagai penyelenggara sekolah). Evaluasi terhadap kinerja sekolah - apalagi secara menyeluruh dan sistemik - tentu tidak bisa dilakukan oleh guru dan pengelola sekolah itu sendiri.

Penyebutan standar nasional pendidikan (SNP) dalam ayat tersebut menegaskan lagi bahwa evaluasi yang dimaksud adalah evaluasi terhadap sistem. Seperti diketahui, SNP terdiri dari delapan komponen, termasuk komponen sarana prasarana, pembiayaan, kualitas dan jumlah guru, serta pengelolaan sekolah. Pemenuhan standar untuk hal-hal ini jelas merupakan kewajiban pemerintah. Pengukurannya adalah bagian dari evaluasi terhadap sistem, bukan murid sebagai individu.

Dengan demikian, Pasal 58 ayat 2 UU Sisdiknas seharusnya tidak digunakan sebagai justifikasi atas pengukuran prestasi murid oleh negara. Ayat ini lebih tepat dibaca sebagai landasan hukum akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional. 

Landasan hukum Asesmen Nasional


Bagaimana dengan AN itu sendiri? Di tingkat UU, landasan hukum AN justru kuat. Ada dua pasal dalam UU Sisdiknas yang menjadi landasan AN. Yang pertama adalah Pasal 57 yang memuat 2 ayat sebagai berikut:
"1. Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 
2. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan."
Kedua ayat ini memerintahkan adanya evaluasi terhadap murid dan sekolah sebagai bentuk pengendalian mutu dan pertanggungjawaban publik. Ini jelas merupakan evaluasi terhadap sistem. Kalau pun murid ikut menjadi peserta dalam evaluasi ini, maka hal itu dilakukan untuk menilai kinerja sistem. Bukan untuk mengevaluasi prestasi mereka sebagai individu.

Implikasinya adalah evaluasi semacam ini tidak perlu dilakukan pada semua murid sebagaimana halnya UN. Evaluasi terhadap sistem cukup didasarkan pada sampel murid yang mewakili masing-masing sekolah yang sedang dinilai kinerjanya. Dan persis inilah yang akan dilakukan dalam AN.

Pasal lain yang menjadi landasan hukum AN adalah Pasal 59 ayat 1 yang berbunyi: 
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.”
Di sini jelas bahwa UU memberi mandat pada pemerintah untuk melakukan evaluasi yang bertujuan untuk menilai mutu pengelolaan sekolah di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Ini menjadi justifikasi yang kuat bagi pemerintah - dalam hal ini Kemendikbud - untuk melaksanakan AN yang akan diterapkan untuk menilai kinerja sekolah di jalur formal maupun nonformal, jenjang dasar dan menengah, serta jenis pendidikan umum maupun vokasi.

Menata regulasi turunan UU


Uraian di atas menunjukkan bahwa di tingkat undang-undang, AN memiliki landasan hukum yang kuat. Jauh lebih kuat dibanding UN yang sudah diterapkan selama belasan tahun. Dengan demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa AN tidak memiliki landasan hukum. 

Tentu yang menjadi pekerjaan selanjutnya bagi Kemendikbud adalah merevisi peraturan perundangan turunannya. Ini berarti mencabut pasal-pasal di Peraturan Pemerintah nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan yang memberi mandat pada BSNP untuk melaksanakan UN, kemudian menggantikannya dengan norma yang sejalan dengan filosofi dan desain AN.