Oleh: Anindito Aditomo
Pagi tadi kami sekeluarga menonton pidato kemenangan Kamala Harris dan Joe Biden. Saya dan Ade ingin agar kedua anak perempuan kami menyaksikan momen ketika seorang perempuan multi-etnis keturunan imigran Asia dan Jamaika terpilih menjadi wakil presiden sebuah negara adidaya.
Pidato bu Harris tidak mengecewakan. Ia berbicara tentang perjalanan panjang perempuan dan kaum minoritas di Amerika untuk memperoleh hak-hak sipil seperti memilih dalam pemilu. Penyampaiannya runtut, jelas, dan hangat. Pidatonya jauh lebih bagus dari pidato pak Biden yang berbicara setelah itu :D
Tiba-tiba ragil kami, Ayesha, bertanya, Wait, so does that mean almost half of the country doesn’t want Biden as president? Lho, jadi hampir separuh orang Amerika nggak mendukung Biden sebagai presiden?
Good question! Pertanyaan bagus, saya menimpali dengan pujian.
Pujian ini bukan basa-basi belaka. Jika ditelusuri lebih jauh, pertanyaan sederhana anak kelas 6 SD ini menyentuh salah satu problem mendasar dari demokrasi. Bahwa demokrasi tidak menghasilkan kesepakatan (mufakat). Bahwa selalu ada pihak yang kalah, pihak yang tidak terwakili dalam demokrasi.
Sebelum menjawab lebih lanjut saya mencoba memahami apa yang ada di kepala Ayesha.
Why do you ask? Why are you concerned about that? Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa yang ada dalam pikiranmu? Saya bertanya balik.
Ternyata yang ia khawatirkan adalah penerimaan dari pendukung Trump. Bagaimana perasaan mereka? Apa mau menerima kekalahan calon yang mereka dukung?
Saya lantas teringat akan tradisi pidato pengakuan kekalahan, concession speech. Pidato kekalahan ini lazimnya disampaikan kandidat yang kalah sebelum pemenang menyampaikan pidato kemenangan. Kombinasi pidato kekalahan dan kemenangan adalah penanda penting dari berakhirnya pemilihan (election) sebagai sebuah babak dalam proses berdemokrasi.
Dilihat dari fungsinya dalam demokrasi, pidato kekalahan mungkin lebih penting dibanding pidato kemenangan. Pihak yang kalah-lah yang secara psikologis perlu diajak bicara agar mau legowo, menerima kekalahan. Pihak yang menang sih secara otomatis bergembira :D
Karena itu kandidat yang baik akan menyampaikan pidato kekalahan yang menyejukkan. Pidato yang mengajak menekankan pada persamaan ketimbang perbedaan. Pidato yang mengingatkan pentingnya menghargai proses dan hasil pemilihan yang demokratis.
Saya lantas teringat pidato kekalahan John McCain pada pemilu 2008 ketika ia melawan Obama. Menurut referensi saya yang terbatas, pidato McCain adalah pidato kekalahan terbaik yang pernah saya dengar.
McCain memulai dengan mengakui kemenangan Obama sebagai calon presiden. Pembukaan ini disambut dengan cemooh oleh audiens. Tapi McCain melanjutkan pidatonya justru dengan menjelaskan mengapa kemenangan Obama merupakan pencapaian yang patut membuat bangga seluruh warga Amerika.
Dalam penutup pidatonya, McCain menegaskan komitmennya sendiri untuk mendukung Obama sebagai presiden terpilih dan mengajak pendukungnya untuk melakukan hal yang sama. Kata-kata persisnya layak dikutip secara lebih utuh:
“... I urge all Americans who supported me to join me in not just congratulating him, but offering our next president our good will and earnest effort to find the necessary compromises to bridge our differences …”
Perhatikan bahwa McCain tidak hanya mengajak untuk memberi selamat. Pemberian selamat adalah langkah pertama dalam menerima kekalahan. McCain mengajak pendukungnya untuk mengambil langkah berikutnya yang jauh lebih sulit, yaitu mencari kompromi dan membangun jembatan antara kedua kubu.
Diucapkan dengan sungguh-sungguh, pidato kekalahan McCain yang semula dicemooh pun perlahan diganjar tepuk tangan. Meski saya yakin itu adalah tepuk tangan yang disertai uraian air mata.
Ya, inheren dalam demokrasi adalah kekalahan dan rasa sakit yang menyertainya. Karena itu demokrasi mensyaratkan kemampuan untuk menerima kekalahan. Dan karena tidak ada orang yang senang kalah, kemampuan menerima kekalahan ini harus dibangun melalui pendidikan.
Pertanyaannya, apakah sistem pendidikan kita sudah dirancang untuk membantu anak-anak menerima kekalahan? Lebih jauh lagi, apakah pendidikan kita dirancang untuk menumbuhkan sikap-sikap demokratis lain seperti berpikir kritis, mandiri, peduli, dan terbuka?
Saya khawatir bahwa jawabannya adalah belum. Pendidikan kita saat ini lebih ingin menjejali anak-anak kita dengan hal-hal yang kita percayai benar, ketimbang membantu mereka untuk menjadi manusia-manusia yang siap berdemokrasi. Bagaimana cara mengubahnya? Mari kita pikirkan bersama!
Catatan: pidato John McCain bisa dilihat di sini:
https://www.facebook.com/NowThisNews/videos/1004529363381837