Gerakan perjuangan Noer Ali muda dipicu oleh sindiran dari teman-teman sepesantrennya, di Rusyaifah, Makkah. Ia mendengar sindiran teman-temannya para pelajar yang berasal dari negara lain: ”Mengapa Belanda yang negaranya kecil mampu menjajah dan hampir menguasai Indonesia? Seharusnya Belanda bisa diusir dengan mudah bila ada kemauan”.
Kemudian ia mengumpulkan para pelajar dari Indonesia agar memikirkan nasib Bangsanya. Lalu ia diangkat oleh teman-temanya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Makkah pada tahun 1937 M. Pertemuan-pertemuan rapat yang diselenggarakannya semakin lama membuat Pemerintah Saudi Arabia curiga sehingga ia dan kawan-kawanya sempat ditahan disana. Pada tahun 1940 M. ia kembali ke Bekasi dan mendirikan pesantren di Ujungmalang (Jumalang), yang sekarang dikenal dengan Ujung Harapan Desa Bahagia Kecamatan Babelan Kab. Bekasi.
Ketika Indonesia merdeka Noer Ali terpilih menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) cabang Babelan. Lalu pada tanggal 19 September 1945 diselenggarakan rapat raksasa (rapat akbar) di lapangan Ikada Jakarta, iapun mengerahkan masa. Dalam mempertahankan kemerdekaan RI, dalam proses perjuanganya beliau menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi lalu menjadi Komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi. Dalam pidatonya di radio Pemerintah, Bung Tomo menyebutnya sebagai Kyai Haji Noer Ali, sejak itu pula ia dikenal dengan K.H. Noer Ali.
Pada waktu agresi militer bulan juli 1947 ia menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta dan mendapat perintah untuk bergerilya dalam melawan penjajah. Kemudian beliau kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki, ia mendirikan dan sekaligus menjadi komandan MPHS (Markas Pusat Hizbullah Sabilillah) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu ia meminta masyarakat Rawagede memasang ribuan bendera kecil dari kertas minyak dan ditempel di pepohonan. Hal ini membuat tentara belanda terkejut dan emosi, karena ternyata masih ada RI di wilayah kekuasannya. Pihak Belanda lalu mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang kemudian mereka dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat untuk lebih berani memberontak.
Kemudian ia mengumpulkan para pelajar dari Indonesia agar memikirkan nasib Bangsanya. Lalu ia diangkat oleh teman-temanya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Makkah pada tahun 1937 M. Pertemuan-pertemuan rapat yang diselenggarakannya semakin lama membuat Pemerintah Saudi Arabia curiga sehingga ia dan kawan-kawanya sempat ditahan disana. Pada tahun 1940 M. ia kembali ke Bekasi dan mendirikan pesantren di Ujungmalang (Jumalang), yang sekarang dikenal dengan Ujung Harapan Desa Bahagia Kecamatan Babelan Kab. Bekasi.
Ketika Indonesia merdeka Noer Ali terpilih menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) cabang Babelan. Lalu pada tanggal 19 September 1945 diselenggarakan rapat raksasa (rapat akbar) di lapangan Ikada Jakarta, iapun mengerahkan masa. Dalam mempertahankan kemerdekaan RI, dalam proses perjuanganya beliau menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi lalu menjadi Komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi. Dalam pidatonya di radio Pemerintah, Bung Tomo menyebutnya sebagai Kyai Haji Noer Ali, sejak itu pula ia dikenal dengan K.H. Noer Ali.
Pada waktu agresi militer bulan juli 1947 ia menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta dan mendapat perintah untuk bergerilya dalam melawan penjajah. Kemudian beliau kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki, ia mendirikan dan sekaligus menjadi komandan MPHS (Markas Pusat Hizbullah Sabilillah) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu ia meminta masyarakat Rawagede memasang ribuan bendera kecil dari kertas minyak dan ditempel di pepohonan. Hal ini membuat tentara belanda terkejut dan emosi, karena ternyata masih ada RI di wilayah kekuasannya. Pihak Belanda lalu mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang kemudian mereka dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat untuk lebih berani memberontak.
Pasukan MPHS berjumlah sekitar 600 orang malang melintang antara Karawang – Bekasi. Mereka berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Karena sulit ditangkap, K.H. Noer Ali diberi gelar ”Singa Karawang-Bekasi” atau ”Belut Putih”. Jasa-jasanya selama perang merebut kemerdekaan RI, sangat dihargai dan dikagumi oleh Komandan Divisi Siliwangi, Ahmad Nasution.
Saat negara RIS kembali ke Negara kesatuan ia menjadi ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung dengan NKRI. Tahun 1956 beliau diangkat menjadi anggota Konstituante, dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harlan Majlis Syuro Masyumi Pusat. Pada tahun 1958 K.H. Noer Ali menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama se Jawa Barat di Lembang Bandung yang kemudian melahirkan Majlis Ulama Indonesia Jawa Barat. Kemudian beliau juga sempat menjadi Ketua MUI Jawa Barat pada periode 1971 – 1975. Tahun 1972 menjadi Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jabar.
Karakteristiknya sangat bijak, ia tidak memihak salah satu aliran, bersikap baik dengan para kyai NU, Muhammadiyah mapun Persis sehingga ia diberi julukan ”Juru Damai”. Beliau juga tidak rasialistis, contoh sejarah menceritakan ada beberapa China yang ia lindungi dari penindasan Jepang, bahkan ada China muallaf yang diangkat olehnya untuk menjadi Kepala Sekolah di Madrasah.
Tahun 1950 beliau mengganti nama Kabupaten Jatinegara menjadi Bekasi. Ia menjadi Wakil Ketua Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) Kabupaten Bekasi dan pernah menjabat Bupati sementara pasca Bupati Suhanda Umar mengalami konflik pada tahun 1951. Tahun 1986 ia berjuang menghapus judi Porkas Sepak Bola dan mengkritisi mereka yang anti jilbab. Menjelang wafatnya tahun 1992, ia masih berkeliling mengajar para santrinya di masyarakat dan berdakwah. Sehingga pada tahun 1995 ia sempat menerima Bintang Nararya dan pada 9 November 2006 diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Lebih dari itu, terutama kita yang masih hidup harus terus mengikuti jejak langkah semangat perjuanganya, jangan sampai menjadi umat (masyarakat) yang mudah terjajah dengan situasi dan kondisi serta perkembangan kemajuan zaman. Paling tidak, kita wajib mengimbangi kondisi peradaban zaman agar kita tidak mudah dimanipulasi oleh oknum-oknum zaman. Jangan pernah hanya sekedar bangga menjadi warga masyarakat Bekasi, kalau belum tahu dan memahami maksud dan sejarah perjuangan K.H. Noer Ali.
Demikian sejarah panjang Bekasi yang telah ikut merangkai sejarah Republik Indonesia dari zaman ke zaman. Sejak tahun 2006, Bekasi dimekarkan menjadi Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.
Sumber Utama: Ahmad Baihaqi.com
Bahan bacaan:
Saat negara RIS kembali ke Negara kesatuan ia menjadi ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung dengan NKRI. Tahun 1956 beliau diangkat menjadi anggota Konstituante, dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harlan Majlis Syuro Masyumi Pusat. Pada tahun 1958 K.H. Noer Ali menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama se Jawa Barat di Lembang Bandung yang kemudian melahirkan Majlis Ulama Indonesia Jawa Barat. Kemudian beliau juga sempat menjadi Ketua MUI Jawa Barat pada periode 1971 – 1975. Tahun 1972 menjadi Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jabar.
Karakteristiknya sangat bijak, ia tidak memihak salah satu aliran, bersikap baik dengan para kyai NU, Muhammadiyah mapun Persis sehingga ia diberi julukan ”Juru Damai”. Beliau juga tidak rasialistis, contoh sejarah menceritakan ada beberapa China yang ia lindungi dari penindasan Jepang, bahkan ada China muallaf yang diangkat olehnya untuk menjadi Kepala Sekolah di Madrasah.
Tahun 1950 beliau mengganti nama Kabupaten Jatinegara menjadi Bekasi. Ia menjadi Wakil Ketua Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) Kabupaten Bekasi dan pernah menjabat Bupati sementara pasca Bupati Suhanda Umar mengalami konflik pada tahun 1951. Tahun 1986 ia berjuang menghapus judi Porkas Sepak Bola dan mengkritisi mereka yang anti jilbab. Menjelang wafatnya tahun 1992, ia masih berkeliling mengajar para santrinya di masyarakat dan berdakwah. Sehingga pada tahun 1995 ia sempat menerima Bintang Nararya dan pada 9 November 2006 diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Lebih dari itu, terutama kita yang masih hidup harus terus mengikuti jejak langkah semangat perjuanganya, jangan sampai menjadi umat (masyarakat) yang mudah terjajah dengan situasi dan kondisi serta perkembangan kemajuan zaman. Paling tidak, kita wajib mengimbangi kondisi peradaban zaman agar kita tidak mudah dimanipulasi oleh oknum-oknum zaman. Jangan pernah hanya sekedar bangga menjadi warga masyarakat Bekasi, kalau belum tahu dan memahami maksud dan sejarah perjuangan K.H. Noer Ali.
Demikian sejarah panjang Bekasi yang telah ikut merangkai sejarah Republik Indonesia dari zaman ke zaman. Sejak tahun 2006, Bekasi dimekarkan menjadi Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.
Sumber Utama: Ahmad Baihaqi.com
Bahan bacaan: