Breaking

Thursday, March 30, 2017

Catatan Pernikahan: Kebohongan yang Indah (bag. 4)



Aku menemukan ketentraman setiap mengenang puisi-puisi yang kutulis untukmu. Meski di satu sisi aku membencinya.
Aku membenci ketakberdayaan yang menderaku seolah aku memang dicipta untuk menjadi laki-laki tak berdaya yang tak bisa apa-apa. Aku benci kepengecutan yang entah sejak kapan kujadikan teman. Aku benci menyadari bahwa aku pernah begitu rapuh.
Aku benci diriku yang tak pernah berani berkata jujur lalu mengambil tanggung jawab atas perkataan jujur itu.
Tapi bukankah setiap yang terjadi di muka bumi ini ada di atas rancangan dan kepastian-Nya? Maka sebesar apa pun kebencianku, aku akan tetap mensyukurinya. Hanya itu satu-satunya cara untuk bisa tetap tersenyum, sambil terus melangkah menjalani hidup dengan mata yang menyala.
Bahwa kita pernah tak saling bicara. Bahwa aku pernah begitu khawatir menyalahartikan rasa. Bahwa aku pernah mengabadikan ketakberdayaan itu dalam sebuah surat dan kini bisa tersenyum saat membacanya:
Kali ini, biarkan aku bicara langsung pada jiwamu: tanpa sekat, tanpa tedeng, tanpa border. Untuk menanyakan apa-apa yang khawatir telah kusalahartikan. Tentang siapa merindukan siapa. Tentang siapa mengharapkan apa. Adakah kata ‘saling’ terkandung? Atau adakah hukum aksi reaksi berlaku secara positif di sana?
Kau pernah mendengar cerita tentang orang-orang yang dibuali perasaannya sendiri? Ada buncahan suka di sana, yang nanti—secara teratur atau tiba-tiba—akan disadari, bahwa itu semua telah menenggelamkan jiwa mereka dalam kesemuan. Merasakan apa-apa yang sebenarnya tak pernah ada. Atau ada, tapi tak sebesar itu. Lalu, atas nama rasa malu pada dirinya sendiri, perasaan yang tidak pernah tahu apa-apa itu dibunuh. Mati lalu dikubur. Tapi tahukah kamu, bahkan semua reaksi sederhana itu tak semudah saat dituliskan?
Jadi biarkan aku bicara langsung pada jiwamu, tanpa kau halang-halangi dengan ekspresi kecil atau celetukan ringanmu. Meski harus kuakui aku menyukainya: kata-kata lugu yang kau rangkai tanpa pretensi, kau ucap seolah tanpa motif, tapi memikat. Aku perlu tahu, tapi aku tak butuh mulutmu berkata-kata. Hanya ingin jiwamu yang bercerita.
Ya, aku perlu tahu.
Meski tak selamanya pengetahuan membuatku nyaman.
Aku hanya takut salah.
Apa kau juga ingin bicara pada jiwaku? 
Apa kau juga ingin bicara pada jiwaku? Betapa lugunya pertanyaanku waktu itu. Pertanyaan paling bodoh di dunia. Laki-laki yang bertanya pada perempuan tentang perasaan yang disimpan di dalam hati, sebelum terlebih dulu menyatakan perasaannya adalah laki-laki pengecut yang bodoh. Bahwa diam untuk menyembunyikan ketakberdayaan selalu lebih baik daripada bicara hanya untuk memamerkan kepengecutan.
Syukurlah aku tak pernah benar-benar menanyakan itu padamu. Mengamati keseharianmu dan mengetahui bahwa kau baik-baik saja sudah begitu berarti buatku. Sebab kabar baikmu adalah oksigen yang membuat api harapan tetap menyala. Dengan nyala itu aku berjalan, menembus gelap untuk menjemput fajar.
Aku bilang gelap karena saat itu pandanganku ditutup oleh berbagai kekhawatiran. Aku sejujurnya bingung menyimpulkan bagaimana sebenarnya diriku waktu itu, aku menjelma menjadi laki-laki dengan sifat kekanak-kanakan yang keterlaluan. Aku cemburu setiap ada laki-laki lain yang membicarakanmusiapa pun itu. Aku benci pada siapa pun yang mencoba untuk menjodoh-jodohkanmu dengan laki-laki lain, meski boleh jadi itu cuma candaan yang—sumpah, tak lucu sama sekali.
Sebab aku tak pernah main-main soal rasa. Barangkali kalimat ini terdengar seperti slogan dalam iklan mie instan, tapi aku sungguh-sungguh. Aku tak pernah jatuh cinta begitu dalam pada perempuan, sebagaimana aku jatuh cinta padamu. Mimpi-ku untuk kuliah di kampus impianku telah Allah kabulkan, dan tentu saja aku tidak bisa menolak seandainya Allah mengabulkan keinginanku untuk hidup bersamamu.
Tapi expectation, kata Shakespeare, is the root of heartache. Harapan adalah akar sakit hati. Memelihara harapan adalah memelihara kemungkinan untuk kecewa. Semua laki-laki sejati harus siap menanggung konsekuensinya.


https://azharologia.com/