Breaking

Thursday, March 30, 2017

Catatan Pernikahan: Kebohongan yang Indah (bag. 3)


Tell me you love me, if you don’t then lie… Oh lie… to me.
Chris Martin menyanyikan lagu itu dengan begitu syahdu, seolah ingin mewakili setiap orang jatuh cinta yang tak mau berteman dengannya kecuali setumpuk tanda tanya dan rasa takut.
Termasuk bagian dari mereka, adalah aku.
Aku yang hampir selalu lupa cara bicara tiap di dekatmu. Lalu setiap waktu, kita menjelma dua manusia pemalu yang baru pertama kali bertemu.
Dan sebagaimana kau tahu, tiada yang lebih beku dari perjumpaan dua manusia pemalu. Hadirnya dua katup bibir, tak menjamin ada cuap di sana. Maka merekalah para ahli diam—untuk selanjutnya menjadi para ahli tebak. Karena tak ada yang bisa dilakukan untuk sebuah kebisuan kolektif selain menebak dan menebak. Sebab itu, di sanalah kerap terjadi sebuah tragedi memilukan yang biasa disebut ‘tertipu oleh apa yang direka sendiri.’
Cerita cinta para pemalu adalah kisah yang penuh rindu pilu. Mereka habiskan senja untuk menanti bulan pujaan di perempatan jalan, untuk sekadar menatap dalam diam. Sampai sang bulan berlalu, berjalan menjauh, lalu menyisakan bayangan punggungnya untuk kemudian hilang.
Ceritaku, tak jauh berbeda.
Akulah pemuja rahasia yang selalu menanti datangnya bulan Januari dengan hati-hati. Sebab di sana ada hari yang selalu kau nanti dengan cemas. Hari yang karena deretan angka pada tahun yang menyertainya membuatku seolah terlalu muda untuk bersanding denganmu: hari ulang tahunmu.
26 Januari 2012.
Tak ada kado. Tidak juga seikat bunga. Hanya sebuah foto tak berdua kita sepaket dengan sederet ucapan sederhana diiringi lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ Dewi Lestari yang kukirim padamu dalam bentuk video. Tertulis di sana:
“Usia hanyalah titian asa. Jalani dengan hati-hati, lakukan yang tak biasa.”
Saat itu, aku tak pernah berharap kau mengerti makna sebenarnya dari ucapan itu. Bahwa ketika aku bicara ‘Usia hanyalah titian asa’, aku sesungguhnya hanya ingin berkata: ‘jangan pedulikan jarak usia yang membentang di antara kita’.
Dan ‘lakukan yang tak biasa’ sejatinya bermakna: ‘kelak ketika tiba saatnya, hiduplah bersamaku, laki-laki yang meski tiga tahun lebih muda darimu akan selalu ada untukmu, menemani setiap langkah, membersamai pertumbuhanmu hingga kita menua bersama’.
Begitulah nasib bulan Januari. Ketika warna warni kembang api meletus di berbagai belahan dunia demi meyambut keha-dirannya, aku memperingatinya sebagai Bulan Keterdiaman. Seperti yang kuabadikan dalam puisi yang kutulis tepat setahun setelah ucapan selamat ulang tahun itu.
Januari
 Di mana akan berakhir,
semua kisah tentang keheningan
Bila kita terus sungkan bersuara

Aku terlalu ahli membungkam hati,
pun begitu nampaknya dirimu
Kita menjadi dua manusia bisu
Di Januari
Telah kukirim gambar
Semacam kode

Agar ada bayangku di sana
Agar imaji ’kita’ jadi nyata
Kini Januari lagi
Ada yang menahun kupendam
Yang membuatku tentram hanya dengan diam
Tapi, sampai kapan hati ini bungkam?


https://azharologia.com/