Kebahagiaan atas sebuah anugerah bernama ‘jatuh cinta’, rupanya datang satu paket bersama perihnya rindu yang mendera. Kesenangan dan kesedihan, kata Kahlil Gibran, bersama-sama hadir. Dan ketika yang satu duduk sendirian denganmu di bangku, yang lainnya sedang terlelap tidur di ranjangmu. Mereka seperti dua sisi mata uang yang tak bisa kubelah untuk kudekap salah satu, sambil membuang sisi lainnya.
Itulah saat-saat aku mulai berhasil menghayati kesedihan Thom Yorke dalam lirik itu:
When you were here before
Couldn’t look you in the eye
You’re just like an angel
Your skin makes me cry
You float like a feather
In a beautiful world
And I wish I was special
You’re so very special
But I’m a creep. I’m a weirdo.
What the hell am I doin’ here?
I don’t belong here.
Jauh di dalam hatiku, ada kekaguman yang berdiri megah di atas rasa tak berdaya. Ada luka yang tak butuh diobati, tersebab kesembuhan sebuah luka hanya akan menyisakan bekas yang sama menyakitkannya ketika dikenang. Ada perasaan yang disembunyikan oleh kegagapan untuk mengungkap rasa.
Meski, rupanya bara api yang dilempar ke dalam setumpuk sekam mulai menimbulkan asap. Semakin lama aku menyimpan perasaan itu, semakin aku curiga bahwa kau mulai menyadarinya. Aroma kerinduan telah merebak hebat, dan kau tak mungkin selamanya pura-pura tak menciumnya, kan?
Tapi tetap saja aku berdiri di sana dan tak beranjak, menjadi pecinta paling pengecut yang terhibur oleh rasa cintanya sendiri.
Aku terus bertahan, menjadikan kita seperti tetangga yang dipisahkan oleh sebuah dinding. Aku merasakan keberadaanmu, tanpa pernah tahu bagaimana perasaanmu. Jarak antar raga kita dapat kuukur, tapi tidak dengan hati. Sedalam apa pun aku coba mengerti. Sebab ia bekerja dan memilih dengan caranya sendiri—formula yang tak ‘kan pernah aku mengerti. Maka memang hanya itu modalku untuk terus bertahan: satu keyakinan bahwa suatu saat rindu itu akan terbayar setuntas-tuntasnya. Bahwa dinding itu akan roboh, menyatukanmu dengan diriku yang telah lelah sendiri.
Andai kau tahu perasaanku saat itu, betapa aku mendambamu dan berharap sejarah mencatat kisah perih-bahagia yang tengah kutenun dengan dramatis. Menuju akhir cerita seindah kisah cinderella. Menolak sebuah kenyataan bahwa dunia juga punya banyak cerita tentang cinta yang tak memiliki, serupa kisah Qais yang majnun lalu mati menderita di atas makam Laila. Aku sadar aku tak sebodoh itu, meski aku terus bersiap untuk setiap hal sebab hadirnya cinta selalu membuka semua kemungkinan.
Hadirnya cinta selalu membuka semua kemungkinan. Ingin kugarisbawahi kalimat itu. Terutama ketika perasaan itu hinggap pada dua manusia yang terlalu sungkan untuk saling bicara: aku dan kamu. Aku yang pengecut dan tak berdaya, dan kamu yang… entahlah. Barangkali perempuan memang ditakdirkan untuk jadi mahluk yang sulit dimengerti. Atau aku, untuk tidak menyebut semua laki-laki, memang dilahirkan sebagai mahluk yang tak cukup peka.
Oleh sebab ketidakmengertian itu, seringkali kita tak pernah benar-benar tahu apa yang sedang terjadi: apa yang berputar-putar di kepalaku dan apa yang bergemuruh di dalam hatimu. Hanya ada sesuatu yang lain—semacam kehausan yang mendera tenggorokanku. Dan aku gagap dibuatnya, sementara kau bisu menahan kata.
Keheningan jadi singgasana kita: aku raja dan kau ratunya.
Dalam keheningan itu, sesungguhnya begitu banyak hal yang ingin kusampaikan. Meski tak lebih banyak dari apa yang ingin kudengar darimu. Tentang isi hati dan kepalamu.
Juga, tentang bunga yang ada di dalam hatimu, adakah ia mekar seperti milikku?
Seandainya memang tak ada bunga yang mekar di dalam sana. Kalaupun rasa itu memang tiada. Demi hati yang telah kurelakan untuk kau tawan, relakah kau berbohong lalu katakan saja bahwa cinta itu ada?
Kau tahu, cinta adalah mata air sementara keraguan adalah sumbatan-sumbatan yang membuatnya tak mengalir. Maka yakinkan dirimu dan biarkan aku tahu apa yang kau rasakan. Karena keterdiaman telah membuatku bosan, meski cinta tak mungkin layu dibuatnya.
Berhentilah membisu dan katakan sesuatu.
Katakan bahwa adalah cinta yang bergemuruh di dalam hatimu. Meski yang sesungguhnya tak seperti itu. Aku telanjur tertipu oleh apa yang kureka sendiri—aku terlanjur hidup dalam ilusi yang kuciptakan sendiri.
Katakan bahwa rindu yang membawamu ke hadapanku hari ini, sebagaimana yang lalu-lalu ketika pertama kali kau mengunci langkahku untuk selalu tertuju padamu. Pada waktu yang kau tak pernah tahu. Dalam nyala api yang tak pernah kau raba sama sekali.
Katakan bahwa adalah cinta sejati yang mengikat kita di sini. Meski bukan itu yang sebenarnya terjadi.
Sebab aku tanpamu telanjur api tanpa udara. Jadi katakan saja.
Catatan by : https://azharologia.com