Berhenti di sana. Jangan lagi kamu berjalan meski pelan-pelan. Aku takut ketika kamu jatuh, tanganku belum siap di sana untuk menangkapmu. Jadi tunggu dulu.
Tunggu. Sampai mulutku tak lagi gagu. Sampai bicaraku lancar tanpa harus fokus pada jantung yang dengan cepat berdebar. Aku tidak akan mengatakan kata-kata yang diucapkan kebanyakan orang: pasaran, bualan. Jadi biarkan aku berkreasi sambil membaca situasi. Dan selama itu, silakan kamu menunggu.
Barangkali kamu akan bertanya dalam hati: ‘Sampai kapan?’
Sampai kamu mengerti.
Bahwa matahari tiada pernah membenci bumi, ia hanya tidak ingin menyakiti. Kata yang satu tidak pernah membenci kata yang lain, mereka hanya ingin ada jeda, supaya mereka punya makna. Pucuk pohon tak pernah membenci akar, mereka hanya ingin bersinergi untuk jadi berdaya.
Jarak dicipta, tiada lain karena ia punya makna. Maka stop. Berhentilah di sana.
Adanya rasa bukan untuk diterka, jadi biarlah ia tetap indah sebagai sesuatu yang tidak disangka. Suka tidak suka.
∞
Tunggu. Sampai mulutku tak lagi gagu. Sampai bicaraku lancar tanpa harus fokus pada jantung yang dengan cepat berdebar. Aku tidak akan mengatakan kata-kata yang diucapkan kebanyakan orang: pasaran, bualan. Jadi biarkan aku berkreasi sambil membaca situasi. Dan selama itu, silakan kamu menunggu.
Barangkali kamu akan bertanya dalam hati: ‘Sampai kapan?’
Sampai kamu mengerti.
Bahwa matahari tiada pernah membenci bumi, ia hanya tidak ingin menyakiti. Kata yang satu tidak pernah membenci kata yang lain, mereka hanya ingin ada jeda, supaya mereka punya makna. Pucuk pohon tak pernah membenci akar, mereka hanya ingin bersinergi untuk jadi berdaya.
Jarak dicipta, tiada lain karena ia punya makna. Maka stop. Berhentilah di sana.
Adanya rasa bukan untuk diterka, jadi biarlah ia tetap indah sebagai sesuatu yang tidak disangka. Suka tidak suka.
∞
Aku berusaha tegar. Atau pura-pura tegar. Bersikap seolah semua berjalan apa adanya dan baik-baik saja.
Aku berangkat ke kampus selama enam hari seminggu, masuk ke ruang kuliah, mengikuti berbagai kegiatan mahasiswa, dan sesekali bicara denganmu—kali ini dengan kata dan juga rasa. Bersama dengan yang lain, kita bicara tentang apa saja. Kadang hadir gelak tawa, kadang kita murung karena sesuatu.
Di tengah-tengah situasi itu aku selalu mencuri pandang ke arahmu, berharap mata kita bertemu untuk saling menatap. Tapi tak juga kau menangkap sinyal itu. Kita seperti dua radio yang berbeda frekuensi.
Sepertinya, bagimu semua memang berjalan apa adanya dan baik-baik saja.
Di dalam benakku mulai muncul pertanyaan-pertanyaan itu:
Apa hanya aku yang didera rindu? Apa hanya aku yang mendadak lupa cara bicara setiap kita bertemu? Apa selama ini tanganku hanya menepuk-nepuk udara?
Katanya, life is all about managing expectation. Ketidakbahagiaan hadir karena apa yang kita dapat tak sesuai ekspektasi kita. Seperti seorang pedagang sayur di pasar yang sejak pagi sekali berharap bisa menjual seratus ikat bayam, namun ternyata yang terjual hanya tujuh puluh. Barangkali ia akan kecewa. Sebaliknya, seorang anak yang tak pernah berharap mendapat peringkat atas ketika kenaikan kelas, tak ‘kan sedih hatinya ketika ternyata ia ada di peringkat bontot.
Tak ada yang lebih menyedihkan dari ekspektasi yang tak tercapai. Semenyedihkan cinta yang ternyata tak berbalas—kekhawatiran yang terus menghantui hari-hariku kemudian.
Bagaimanapun, aku adalah bagian dari golongan manusia. Makhluk yang selalu merasa bahwa mereka hanyalah budak waktu dan begitu mudahnya percaya waktu punya kerendahan hati yang cukup untuk berpihak pada mereka.
Aku pun begitu. Aku pasrahkan semua padanya, seolah aku tak bisa apa-apa. Lantas dengan nada sok bijak aku berkata: ‘biar waktu yang menjawab.’
Padahal waktu bisu, tak bisa berucap apa-apa, apalagi mendekatkan dua manusia.
Apakah aku setakberdaya itu? Hanya bisa termangu melihat waktu berlalu, sambil menanti dan bertanya-tanya ‘apa yang akan terjadi selanjutnya’?
Perasaanku begitu tak menentu.
Catatan by : https://azharologia.com