Bagi penulis gombal bukan masalah remeh dan sepele, lihat saja dampak yang dapat ditimbulkannya. Betapa banyak remaja yang tak ingin lagi sekolah karena lebih memilih menikah, betapa banyak aturan dan norma agama dan masyarakat diabaikan, dan betapa banyak perempuan atau laki-laki yang pada akhirnya dicampakkan kekasihnya, pasangannya.
Sebagain dari Anda mungkin alergi dengan gombal, sebaliknya ada juga diantara Anda yang memandang nilai positif darinya, ia memperindah sebuah ikatan . Apapun itu, Anda memiliki kesamaan, Anda senang dengan pujian dan janji kebahagiaan yang semuanya terangkum dalam gombal.
Mungkin karena track record dan pengamalan gombal yang telah dan masih berlaku, KBBI mendefinisikan gombal dengan, “ucapan yang tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan, omongan bohong”
Membaca definisinya, seharusnya tidak ada orang yang terjerat dan terpedaya olehnya, gombal jelas hal yang negatif. Sayangnya, untuk tak terjebak kedalamnya tidak semudah dan cukup dengan memahami definisinya. Entah karena manusia seringkali tertutup otak, telinga, mata, dan hatinya karena cinta (ehemm, dr Cinta) atau karena gombal mengandung hal-hal yang manusia sukai tadi.
Seringkali penulis mendengar, “wanita mau aja digombalin”. Ucapan mereka tidak sepenuhnya salah, tapi ada hal lain yang penulis cemaskan dari kata-kata tersebut, masyrakat kita lebih toleran kepada kebohongan dan dusta. Jika diibaratkan dengan hal lain, di suatu kota sering terjadi kecelakaan karena banyak pengemudi kendaraan yang melanggar rambu-rambu lalu lintas, banyak pejalan kaki yang tertabrak karena mereka (pengemudi) sering menyasar dan merebut trotoar.
Dikarenakan hal ini, banyak pihak yang marah pada pejalan kaki, “banyak kecelakaan, kenapa kamu jalan di terotoar!”. Para pejalan itu sudah jatuh ketimban tangga juga bukan? Bukankah kita harus menegakkan aturan lalu lintas dan menghukum para pelanggar?
Hewan diikat dengan tali, ilmu dengan buku, dan manusia dengan kata-katanya. Jika kata-kata tak dapat lagi dipercaya, dengan apa kita mengambil kepercayaan dari mereka?
Agar kita tetap menjadi manusia, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan ketika kita berbicara, termasuk dalam pujian dan janji.
Berdasar
Bukan argumen saja yang memerlukan dalil, pujian pun demikian, ia harus berpijak pada fakta. Jadi, jangan terbang dengan pujian orang yang tidak kita kenal atau baru saja kita temui, apalagi jika kita mengetahui orang tersebut di dunia maya.
Suatu saat, dua orang sahabat memuji seseorang di hadapan Sayidina Umar, lalu beliau mengatakan, “apa engkau pernah melakukan perjalanan bersamanya?”, diantara mereka menjawab, “aku berjaul beli dan berinteraksi dengannya”.
Beliau kembali bertanya, “apakah kamu pernah membersamainya di waktu pagi dan sorenya”. Orang tersebut menjawab, “tidak”. Lalu beliau sampai pada sebuah kesimpulan bahwa mereka tak mengenal dengan baik orang tersebut.
Jika orang tersebut kita kenal, kita juga perlu berhati-hati dengannya jika pujiannya berlebihan dan menyangkut hal yang tidak kita miliki, jangan terperdaya!. Dalam Yang Bijak dari Kakek Quraish dikatakan, “ jika seseorang memuji apa yang tidak ada pada dirimu (karena senangnya), suatu saat ia akan mencacimu dengan apa yang tidak ada pada dirimu ”.
Jujur
Kejujuran adalah bekal meraih kebahagiaan dan kesuksesan. Lihatlah betapa orang-orang yang hidupnya agung dan membawa kesejukan bagi dunia pasi bersifat jujur, para Rasul, ilmuan, dan pemimpin hebat lainnya.
Sifat jujur adalah ibu dari berbagai kebaikan dan keutamaan, dengannya seseorang pasti amanah, berbagi dan menyebarkan kebaikan (tabligh), dan akhirnya membuahkan kecerdasan, baik intelektual, emosional, atau spiritual.
Meneladani sifat-sifat Rasul, hal ini juga yang guru penulis sampaikan pada murid-muridnya dalam menuntut ilmu. Diawali dengan niat yang benar, mensykuri nikmat akal, menjadi hamba Tuhan yang memberi manfaat besar bagi sesama, misalnya.
Cara memperoleh ilmu yang benar, memegang kejujuran, menghormati pada ahli ilmu dan ilmu itu sendiri. Lalu menyampaikan ilmu yang telah diberikan pada kita. Semuahnya membuahkan kecerdasan.
Hati-hati
Dalam berkata kita diajarkan untuk memperhatikan sekecil-kecilnya kesalahan dan hati-hati terhadap kelalaian. Hal ini bukan hanya menyangkut ucapan mengenai Tuhan dan sifat-sifatNya, tetapi juga dalam interaksi kita dengan makhlukNya.
Misalnya, Rasulullah mengingatka kita agar tidak berkata maa syaa’ Allah wa syi’tu , karena kalimat ini (dengan huruf athof wau) mempersamakan (tasyrikan) kehendak Tuhan dengan kehendak manusia. Beliau mengajarkan kita mengucapkan, “maa syaa Allah tsumma syi’tu”.
Di lain kesempatan beliau juga melarang para sahabat berkata, “ini adalah budak laki-laki dan perempuanku”, beliau meminta mereka memanggil hamba sahaya mereka dengan anak-anakku.
Tidak ada gombal ideal kawan, yang ada hanya kejujuran ucapan yang didasari kebenaran dan kehati-hatian dalam memuji dan memberi janji kebahagian dan kebersamaan kepada seseorang.
Tentu masih banyak lagi hal-hal yang harus kita perhatikan ketika berucap, semua mengingatkan kita pada satu hal. Kata-kata adalah panah yang apabila kita lepaskan dari busurnya ia akan mengenai sesuatu, pastikan ia mengenai sasaran, agar tidak ada yang terluka. Karena seorang mu’min adalah ia yang dapat memberikan keamanan dan kebahagiaan kepada makhluk Tuhan seluruhnya.
Kita ingin tetap jadi manusiakan?
Santri