Breaking

Sunday, April 2, 2017

Surga Yang Pertama


Siang menjelang sore, terutama di akhir pekan, orang kelas menengah banyak yang berkeliaran menghabiskan uang, saling bercengkerama di kafe, apalagi dikawasan metropolitan seperti Jakarta. Materialisme, hedonisme dan pragmatisme jadi topik utama pembicaraan sehari-hari.
Semua orang berlomba saling mengkastakan sesama, memaksakan kebenaran diri, seolah raja-raja absolut abad 14 yang berhak menghakimi orang lain. Lomba-lomba itu tak menghasilkan pemenang, yang ada malah memproduksi pecundang, mana mungkin hendak memaksakan kehendak dengan cara-cara curang atau menghakimi sesuatu dengan asumsi karangan.
Disudut kafe Hegemoni, di dekat jendela nampaknya berbeda, terlihat sepasang kekasih makan bersama sambil menyoal cinta yang hendak ingin dibawa kemana. Si perempuan berambut panjang lurus dan hitam pekat, berkacamata putih dengan sepasang wedges hitam, dengan air muka feminin ditambah sapuan make-up merah muda. Terlihat dia berbicara  pada seorang pria dengan kemeja rapi dan celana bahan hitam yang fit.
“Aku bilang dengan terus-menerus kita percaya pada kemegahan rela untuk untuk mengasihi, dan surga yang dengan lembut kau katakan, akan memabukkanku kelak dengan keindahan makna, lalu cinta akan hadir kurasa. Itu yang kau janjikan. Cinta yang mana? Nyatanya lima tahun kita bersama, menjalin kasih denganmu, aku masih belum paham cinta yang kau maksud! Hagia, Aku letih dengan bualanmu. Tolong jangan pernah ada lagi esok untuk hubungan kita”, ucap wanita itu.
Setelan jeans biru dipadu dengan kemeja merah muda semakin menonjolkan sifat kekinian si perempuan, apalagi ditambah dengan smartphone buah apel di genggamannya, yang kalau dilihat harganya gak bikin mudeng. Entah siapa yang berhak mendefinisikan arti "kekinian", yang jelas narasi-narasi kekinian tak lebih dari umpan para pemburu rente, para pedagang kelas kakap yang mampu menyihir dan menyulap media.
Huft, di mana-mana ajakan untuk konsumtif sealalu gencar, seolah-olah berbicara pada tiap dari kita; belanjalah, maka kamu ada.
Semua orang dapat dengan mudah menebak jika memperhatikan, mereka tengah beradu pendapat, dari gesturnya solusi gagal lahir, alias deadlock. Pria itu adalah Hagia. Wartawan pemula yang baru merangkak karirnya. Sementara perempuan itu Eva, seorang pegawai bank swasta yang juga baru memulai karir. Mereka telah lima tahun menjalin hubungan sejak hari wisuda. Hari pertama jadi pengangguran.
Di tengah dialog panjang menjelang klimaks, tiba-tiba perempuan itu berjalan keluar, “Eva, tunggu!”, seru pria itu. “kau tak mampu kupahami. Inginku menyudahi semua ini, tak terangkakan jika kau hitung dan tak berkesudahan jika kau debat, carilah wanita lain, yang mampu memahami logika cintamu!” kembali ia menjawab pria itu. “Eva, apa yang kau bicarakan? Bukankah kita telah sepakat soal ini?” seadanya dijawab dengan lirih.
Bersamaan dengan itu, lantas perempuan tersebut pergi meninggalkannya. Satu hal yang dia tahu, Eva menangis. Seketika langit Cikini di bulan Februari pukul 16.00 melahirkan esensinya—untuk hujan dengan deras—penuh sesal dia berpikir keras mengingat dosanya. Eva telah meninggalkannya, berjalan menjauh menepis semua janji dan angan indah untuk dapat hidup bersama.
Di hari minggu ini, Hagia tidak banyak acara. Setelah 20 menit menunggu, jemputannya tiba. Tidak mudah untuk masuk ke mobil jemputannya. Dia harus susah payah menunggu lama dan menggulung jaketnya sebagai penutup kepala untuk menjaga kepalanya tetap kering dari air hujan yang kotor karena langit jakarta yang pekat dengan debu-debu.
Hujan merupakan sumber penyakit bagi orang-orang seperti dia yang harus beradu langsung dengan "kuman-kuman" seleksi alam, tanpa tunjangan gaji yang memadai untuk membuatnya lebih mudah menghadapi kenyataan. Duduk di angkutan kota yang penuh sesak tak membuatnya berhenti memutar kejadian barusan. Mungkin dia sedang banyak pikiran, macet Jakarta di sore hari yang diperparah guyuran hujan gagal membuatnya mengumpati keadaan.
Mobil-mobil mewah egois bercipratan, saling mengkastakan dengan merek, entah pejabat entah korporat, yang jelas gengsi memancar lewat kemewahan mobil-mobil mahal yang dengan lantang seolah teriak pada dunia: saya ini anti-kemiskinan. Berderu saling melesat berdesakan tanpa belas kasih, hidup nikmat diatas ketimpangan yang sangat. Tidakkah kita semua peduli dengan perbincangan-perbincangan keadilan? Kemanusiaan?
Lembaga Swadaya Masyarakat INFID dan Oxfam yang mencatat kekayaan empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin? Bahkan perlu diketahui ketimpangan di Indonesia terburuk peringkat enam di Dunia. Wahai komprador dan kapitalis birokrat, sadarlah kalian. Jagalah akal sehat, kelak akan datang hantu di mimpi kalian. Hantu kohesi sosial yang siap merampas kenyamanan persekongkolan.
*****
Hujan telah reda, butuh setidaknya satu jam dari Cikini ke rumahnya. Kemudian pria dengan santai itu turun dari angkot. Lamunannya berhenti melayang untuk sementara. Getir dia berpikir naïf, apa hanya anya angkot yang setia menemaninya saat ini, kendaraan yang biasa ia naiki dengan murah, ditengah kondisi ekonominya yang belum matang. Memang saat ini pekerjaan sebagai buruh berita belum mendatangkan kebaikan baginya.
Lowongan pekerjaan yang terbatas, dan jumlah angkatan kerja yang terus tumbuh menciptakan hantu penggangguran yang siap mengeksploitasi rasa cemas tentara buruh agar nyaman digaji rendah. Beruntung bagi Hagia, angkot masih rajin melintas dekat rumahnya, jadi tidak perlu kredit motor apalagi mobil yang sangat mencekik dan mengkayakan orang yang super kaya.
Kaum proletar seperti Hagia dan kebanyakan sesamanya, hanya diri sendiri yang bisa membelanya. Tidak pejabat tidak korporat. Bahkan "serdadu Tuhan" yang turun kejalan tempo hari dengan kekuatan massa tidak berpihak pada rakyat pegunungan Kendeng yang saat ini beradu nyawa dengan pasung semen untuk menuntut hak-haknya dari pemerkosaan dan pengisapan rezim.
Langit Jakarta mulai gelap, sore mengemas hari dalam diam. Beratapkan kepulan gelombang awan jingga pekat ditembus sedikit cahaya,  sementara diantara gelap hujan melembut rintik-rintik. Pria itu berjalan dengan bimbang di jalan kecil komplek rumahnya—sambil mengingat tangis Eva—ditemani sejuk yang sedari tadi hadir dengan anggun.
Azan magrib mulai berkumandang perlahan, sayup dan jelas, tak henti-hentinya mengingatkan pada yang Maha, mengajak sesaat berhenti berceloteh duniawi dan mulai berbincang-bincang dengan zat yang hakiki ditengah hembusan sekulerisme. Sejak kasus Ahok ramai dibicarakan, pandangan Hagia kepada Basuki Tjahaya Purnama lepas dari isu agama, baginya dia pilihan rasional ditengah badai korupsi, kolusi dan nepotisme dan banjir kemunafikan yang menggerogoti nurani.
Dia tidak goyah dengan idealismenya. Meski saat ini para pelacur intelektual telah memasuki masa keemasannya, berselingkuh dengan pemilik modal, dia tidak sudi masuk ke lingkaran itu. Anak haram perselingkuhan kaum terdidik dengan kapitalis laknat yang berupa kemunafikan tak mampu dia terima sebagai seorang yang pernah belajar bahwa kapitalis birokrat bin feodalisme lah biang kerok semua kebusukan sistem. Baginya, menjadi martir kebodohan dengan menyebarkan berita bohong adalah keji.
Sambil berjalan dia sibuk mengemas pilu menjadi doa-doa yang terus berhembus lewat asap rokok. Hal yang pasti dan sulit ia sembunyikan, raut mukanya memancarkan kesedihan. Termenung, kelap-kelip mimpinya memudar. Anjing komplek bersahutan tiada dia perduli, burung-burung malam mulai mengudara, sebagaimana kasihnya dengan Eva yang masih ia pertanyakan mengapa berakhir dengan kelindan duka.
*****
Di balkon rumahnya pada saat yang sama Eva sama sekali tak menyesali keputusannya meninggalkan kekasihnya yang telah lama ia yakini kebenarannya sebagai teman hidup. Ditemani secangkir teh hangat, keyakinannya semakin mantap, gemerlap surga yang dijanjikan oleh pria itu hanyalah omong kosong. Mana mungkin cinta tumbuh mengganda, dan rasional baginya untuk memikirkan dengan tekun dan matang seberapa penting rasa dan makna sebagai esensi dirinya untuk menjadi tunggal di mata pria yang masih ia kasihi.
Di usianya yang hampir menginjak 26 tahun sebagai perempuan dia memang harus mulai serius dengan hidupnya. Jelas sosok Hagia yang pandai berkelindan dengan makna ditiap kata-katanya cukup estetis bagi wanita itu untuk bertahan. Sambil melempar pandang di angkasa, dia rela mengakui ada yang telah selesai di hatinya, di hidupnya. “Dunia adalah konstruk, begitupun cinta.
Tiada yang berhak memonopoli definisi, begitupun makna. Aku berhak mendefinisikanmu sebagai surgaku yang pertama. Dengar Eva, tiap kali kau ragu padaku, ingat satu hal, kasihku tak berkesudahan”, dalam sunyi Eva mengingat kata-kata yang sangat sering Hagia ucapkan—yang baru kini disadari apa artinya—dengan sangat menyesal.
Baginya Hagia adalah pria konyol yang percaya bahwa makna dan rasa selalu sama, sesuatu yang menghasilkan simbol tak terjumlah dan tak terdefinisi. Mungkin bukan pria kaya dan mapan, namun selalu dapat memberikan warna baginya. Warna yang tak pernah sama di setiap hari bersamanya. Sekarang warna itu sirna, warna itu selesai dengan sendirinya menyublim menjadi uap nafas-nafasnya.
*****
Setibanya didepan pagar rumahnya, pukul 17.45  lamunan panjang pria itu terhenti. Sekelebat ucapan Eva seminggu lalu bagai hantu melintas di kepalanya, “bagaimana kau bisa meyakinkanku berjalan bersama, tapi kau hanya menawarkan kebenaran tunggalmu tentang rasa. Kau memonopoli makna. Apa kau bisa menerima definisiku? Cinta tak harus bisa mendua meski itu sah oleh agama. Mengapa kau harus menduakanku jika kau memang mencintaiku?“ ucap wanita itu lirih mendebat dirinya yang berencana ingin melamar Eva sebagai istri yang pertama.



Mahasiswa