Breaking

Tuesday, October 20, 2020

MENGUBAH PENDIDIKAN, MENGUBAH MASYARAKAT

Oleh: Anindito Aditomo | Terbit pertama 27 Oktober 2019 di portal KAGAMA 

 

Lazimnya orang berpikir bahwa pendidikan adalah instrumen perubahan sosial. Artinya, memperbaiki pendidikan adalah jalan untuk menghasilkan perubahan positif pada masyarakat.
 
Pandangan ini benar, tapi hanya separuh saja. Separuh lainnya adalah bahwa perubahan pendidikan seringkali mensyaratkan perubahan pada masyarakat. Lebih tepatnya, perbaikan sistem pendidikan perlu didahului oleh perubahan cara berpikir masyarakat.
 
Ada beberapa contoh yang mengilustrasikan dinamika tersebut. Yang pertama berasal dari Jerman. Pada awal 2009 koalisi partai Kristen Demokrat dan partai Hijau memenangkan pemilu Hamburg, sebuah kota sekaligus negara bagian di Jerman. Salah satu agenda utama koalisi tersebut adalah reformasi pendidikan, yakni perpanjangan masa sekolah dasar dari 4 menjadi 6 tahun. Karena memang menjadi platform kampanye, usul tersebut disetujui parlemen pada Oktober 2009.
 
Namun gelombang protes segera muncul. Sedemikian keras protes yang dilancarkan sampai pemerintah setuju untuk mengadakan referendum. Dilangsungkan pada Juli 2010, hampir 500 ribu orang mengikuti referendum. Bukan jumlah yang kecil di sebuah kota berpenduduk sekitar 1.7 juta orang! Sekitar 55.8% peserta referendum menolak memperpanjang masa sekolah dasar.
 
Reformasi yang diusulkan di Hamburg itu sebenarnya memiliki landasan yang kuat. Di Hamburg, siswa kelas 5 dipisahkan ke dalam dua jalur sekolah: Gymnasium dan non-Gymnasium. Gymnasium adalah sekolah untuk siswa yang dipandang lebih berbakat akademik. Non-Gymnasium adalah untuk siswa yang lainnya. Berbagai riset menunjukkan bahwa sistem tersebut melestarikan kesenjangan sosial-ekonomi. Perpanjangan masa sekolah dasar dimaksudkan agar siswa mendapat 2 tahun ekstra untuk mendapat pendidikan akademik yang komprehensif sebelum harus dipisah ke dalam dua jalur.
 
Lantas mengapa masyarakat Hamburg menolak usul tersebut? Saya tidak tahu persis, tapi sebagian sentimen penolakan terbaca dari slogan utama aktivisnya: Wir wollen lernen! Kami ingin belajar! Lho, apakah perpanjangan masa sekolah dasar menghambat anak-anak untuk belajar? Di sini menariknya. Slogan ini mencerminkan pandangan bahwa belajar bisa berlangsung lebih baik ketika siswa dipisahkan berdasarkan bakat akademiknya. Perpanjangan masa sekolah dasar berarti memperpendek masa sekolah menengah-atas yang dianggap sebagai masa ketika anak „benar-benar belajar“!
 
Contoh kedua adalah rangkaian kebijakan “yutori kyōiku” yang diterapkan di Jepang. Reformasi yutori adalah respon terhadap besarnya tekanan mental yang dirasakan siswa Jepang karena luasnya cakupan kurikulum sekolah. Selain berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis siswa, kurikulum yang terlalu luas juga dinilai melanggengkan metode pengajaran yang satu arah dan tidak mengembangkan kreativitas, kemandirian dan nalar kritis.
 
Reformasi yutori mendapatkan momentum mulai akhir 1990an. Jam pelajaran mulai dikurangi; hari Sabtu yang sebelumnya merupakan hari sekolah menjadi libur. Manifestasi reformasi yutori yang paling jelas adalah pemangkasan 30% konten kurikulum nasional pada tahun 2002. Setelah itu, pemerintah menerbitkan panduan mata pelajaran teringetrasi tentang tema-tema besar seperti lingkungan dan teknologi. Sejalan dengan hal itu, guru juga didorong untuk lebih banyak menggunakan metode problem- dan project-based learning.
 
Seperti usulan perpanjangan masa sekolah dasar di Hamburg, reformasi yutori juga memiliki landasan yang kuat. Kreativitas, kolaborasi, dan nalar kritis sulit berkembang jika guru terlalu sibuk „menyelesaikan“ konten kurikulum yang penuh sesak. Tekanan psikologis yang berlebihan juga berdampak buruk pada pemahaman materi dan kesehatan mental.
 
Apa yang terjadi? Seperti juga di Hamburg, masyarakat Jepang memandang reformasi yutori sebagai kemunduran. Pengurangan konten dan jam belajar dianggap sebagai penurunan standar akademik. Turunnya hasil tes internasional seperti PISA pada tahun 2003 dipersepsi sebagai bukti dampak buruk yutori. Banyak orangtua yang bahkan menyerbu les-lesan (kursus) yang menawarkan konten dan gaya pengajaran seperti yang dulu diperoleh di sekolah sebelum reformasi yutori!
 
Sebenarnya persepsi tentang penurunan standar akademik tidak sepenuhnya benar. Tes PISA, yang pada 2003 dijadikan salah satu bukti dampak negatif yutori, justru menunjukkan bahwa siswa Jepang menjadi semakin mahir menjawab open ended problems yang membutuhkan kreativitas dan nalar kritis. 
 
Menurut Andreas Schleicher, sang perancang PISA, peningkatan kemampuan problem solving siswa Jepang pada periode 2003-2009 adalah yang paling pesat di dunia. Ini persis seperti yang dimaksudkan oleh penggagas reformasi yutori! Namun apa lacur. Respon negatif masyarakat Jepang mendorong pemerintah untuk berkompromi dan membatalkan beberapa aspek reformasi yutori. Konten kurikulum pun berangsur ditambah kembali.
 
Contoh ketiga adalah reformasi seleksi masuk sekolah berbasis yang baru saja diterapkan di Indonesia. Ya, kebijakan zonasi adalah sebuah reformasi pendidikan yang cukup radikal. Mirip dengan perpanjangan masa sekolah dasar di Hamburg, zonasi dilatarbelakangi oleh niat untuk mengurangi kesenjangan sosial dalam pendidikan. Dengan zonasi, komposisi sosial-ekonomi siswa di tiap sekolah diharapkan menjadi lebih merata. Dengan demikian, semakin banyak siswa dari keluarga miskin yang bisa masuk ke sekolah yang selama ini dianggap favorit.
 
Seperti juga kasus Hamburg dan Jepang, zonasi di Indonesia juga direspon secara negatif oleh masyarakat. Respon tersebut sebagian dipicu oleh implementasi yang buruk. Tapi sebagian lagi alasannya lebih fundamental: zonasi melanggar beberapa keyakinan masyarakat tentang sekolah dan pendidikan. Misalnya, banyak orang merasa bahwa zonasi tidak adil karena menghukum siswa yang sudah belajar keras untuk menghadapi ujian. Secara implisit, ini mencerminkan keyakinan bahwa seleksi masuk sekolah adalah urusan kompetisi antar siswa. Mereka yang rajin dan berbakat memang seharusnya mendapat reward diterima di sekolah yang lebih baik.
 
Pada akhirnya, kebijakan zonasi pun mengalami kompromi. Daerah diperbolehkan menggunakan nilai ujian sebagai salah satu komponen seleksi. Beberapa daerah bahkan konon menolak menerapkan kebijakan tersebut.
 
Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah cermin dari masyarakat. Sistem pendidikan yang kita miliki, dengan segala baik buruknya, sampai titik tertentu merupakan perwujudan dari nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki masyarakat. Atau lebih tepatnya: kelompok yang dominan dalam masyarakat. Konsekuensinya, perbaikan pendidikan seringkali perlu disertai – dan mungkin didahului – oleh perubahan keyakinan masyarakat. Dengan kata lain: disrupsi pendidikan perlu diawali dengan disrupsi cara berpikir masyarakat!