Breaking

Thursday, February 18, 2021

Pengertian Gawai Dayak


Gawai Dayak merupakan perayaan yang diadakan di Kalimantan Barat dan Sarawak oleh suku asli Kalimantan Barat dan Sarawak,terutama Iban dan Dayak Darat.Gawai Dayak merupakan hari perayaan panen dan mulai diadakan secara besar-besaran sejak 25 September 1964,apabila Gawai Dayak dimaksudkan sebagai hari perayaan resmi.Sambutan Gawai Dayak pada tingkat negara Malaysia adalah pada 1 Juni 1965,dan sambutan Gawai Dayak pada tingkat negara indonesia yaitu di kalimantan adalah pada setiap bulan Mei dan Juni 



Gawai Dayak mempunyai beberapa upacara yang dijalankan di kota dan lamin (rumah panjang). Persembahan berbagai sajian makanan khas,berserta tuak untuk sumber pelengkap,sebagian tuak dan makanan sajian khusus di persembahkan kepada dewa padi untuk ucapan sukur atas hasil panen yang baik.Penyair akan membaca mantra yang khusus untuk upacara ini dan melumur darah ayam jantan pada bahan persembahan.

Setelah upacara ini,perayaan Gawai Dayak akan dimulai secara resmi.Sebatang pokok yang dikenali sebagai 'ranyai' akan didirikan di tengah ruang dan dihiasi dengan makanan dan minuman.Mereka juga akan mengunjungi keluarga dan sahabat yang disebut sebagai 'ngabang atau bapangel'.Pakaian tradisional akan dikenakan,dan perhiasan manik orang ulu akan dikeluarkan untuk dipakai pada hari itu.Perawan Iban juga akan mengenakan perhiasan perak tradisional.Pesta Gawai Dayak ditutup dan berakhir dengan penurunan pokok ranyai tersebut.


Gawai Dayak sebagai Upacara Adat


Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen salah satunya di kota Pontianak.Hakikatnya sama dengan Naik Dango,atau Maka‘ Dio.“Tujuannya sendiri kurang labih sama,mengadakan pesta atau keselamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan,“Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan,kesehatan,dan hasil panen yang melimpah,selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.


“Orang Dayak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu,upacara adat Naik Dango atau Ka‘ Pongo”,(1999:2).Sebelum hari H dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn),yang disebut matik.Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta adat.Pada hari raya Besar-besaran dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn di ruang tamu (sami),memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali,nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya,dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis.


Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Bahari Sinju dkk. (1996:146),berpandangan bahwa Nyangahatn adalah wujut upacara religius. Ia menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya.



 Dari segi tahapannya nyangahatn terbagi menjadi 
(1) matik,
(2) ngalantekatn,
(3) mibis,dan 
(4) ngadap Buis.

Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat.Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan,dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat.Terakhir adalah ngadap buis,yakni tahapan penerimaan sesajian (buis) oleh awa pama dan jubata,dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan,termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram.


Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan,tahapan pertama sampai ketiga,disebut nyangahatn manta, yakni nyangahathn dengan bahan yang belum masak (mentah),sedangkan ngadap buis disebut nyangahathn masak,disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak).Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang sederhana,yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana:nasi,garam,dan sirih masak (kapur,sirih,gambir,tembakau,dan rokok daun nipah), nyangahathn sederhana ini disebut babamang.


Kisah mitos Gawai 

Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar,yakni cerita nek baruang kulup.Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek,dan keinginan membudidayakannya menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir.Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan jubata.Hasil perkawinannya dengan Jubata,adalah nek baruang kulup.Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino (manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing.Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia.Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan,sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia.Namun,untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia.Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.


Menurut Bahari,dkk. (1999:243)., makna upacara Naik Dango antara lain,adalah

1.menyukuri karunia jubata;
2.mohon restu kepada jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dangao padi;
3.pertanda penutupan tahun berladang;
4.mempererat hubungan persaudaraan/solidaritas.


Dalam kemasan modern,upacara adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat,kesenian tradisional,dan pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional.Hal ini menyebabkan Gawai Dayak lebih menonjol sebagai pesta daripada sebagai upacara ritual.Namun,dilihat dari tradisi akarnya,ia tetap sebuah upacara adat.


Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Gawai Dayak

1. Spirit Kelompok Urban
Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak.Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit.Meski demikian,beberapa figur telah ada yang aktif di partai,antara lain,PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak.


Pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda),yang salah satu tugasnya adalah mengorganisasikan pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak.Keinginan untuk saling memperkuat dan memperkenalkan tradisi Dayak mendorong kehadiran simbol yang dapat menjadi perekat sesama orang Dayak.Gawai Dayak menjadi simbol yang menyadarkan bahwa setiap Dayak berasal dari leluhur dan budaya yang sama. Simbol ini telah menjadi media untuk menyegarkan kesadaran akan tradisi masa lalu di antara sesama urban selama kurang lebih dari satu dasa warsa.


Bolehjadi Sekberkesda pada mulanya merupakan sarana politik. Namun, keberadaan organisasi ini menandai awal perhatian dan kecintaan terhadap budaya Dayak di kalangan Dayak di perkotaan secara terorganisasi dalam lingkup yang lebih luas daripada sekedar sanggar-sanggar. Hal ini terlihat dari bergabungnya sekitar 8 buah sanggar pada waktu itu.Manufer di sektor politik pada waktu itu berdampak positif,yakni memajukan perhatian untuk mengembangkan seni budaya Dayak di Pontianak.


2. Telah Bertahan Lebih dari Satu Dasa Warsa
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya,30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun.Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992,nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak,yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan.Namun,pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal,bahkan ditiadakan.


Kemampuannya bertahan lebih dari sepuluh tahun menunjukkan bahwa Gawai sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak di Pontianak.Ia telah menjadi media yang dibutuhkan untuk menyegarkan semangat solidaritas sesama Dayak dalam lingkaran rutinitas kehidupan kota.


3. Dukungan Masyarakat Budaya
Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah,kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis.Namun,Gawai Dayak sebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya.Pada saat ini,Sekberkesda didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representiasi berbagai kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak.


Dukungan ini menjadi faktor kekuatan yang luar biasa.Yang masih menjadi persoalan bagi Sekberkesda adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan itu,bagaimana mengembangkan Sekberkesda menjadi lembaga yang dapat berbuat optimal dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang ada,termasuk mengangkat Gawai Dayak menjadi peristiwa budaya bertaraf nasional,bahkan internasional.

Kesimpulan
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kalimantan Barat yang digelar rutin setiap tahun di Pontianak pada setiap Mei. Event budaya ini berakar dari tradisi terpenting suku Dayak, yakni upacara adat perladangan. Masyarakat Dayak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan. Upacara adat terakhir adalah Naik Dango. Upacara Naik Dango inilah yang selanjutnya disuguhkan dalam kemasan baru menjadi Gawai Dayak di tingkat Propinsi.


Beberapa hal yang mendukung pelaksanaan Gawai Dayak, antara lain, spirit kebersamaan kelompok urban telah dipandang sebagai tradisi dan dukungan masyarakat budaya.


Bagi masyarakat Dayak, Gawai Dayak merupakan peristiwa budaya yang strategis dalam arti membuka peluang menghadirkan kembali budaya rumah panjang, dan memulihkan kembali dimensi kemanusiaan yang sebelumnya telah dicabik-cabik, yakni perasaan sederajat dan keyakinan terhadap budaya sendiri.